Sejarah Otista Yang Terungkap

BANDUNG bagiku lebih dari sekedar kota yang penuh makanan enak: batagor Riri, mie ayam Akung, yoghurt Cisangkuy, klappertart, dll. dan deretan Factory Outlet yang menyediakan kebutuhan sandang mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sekedar mengingatkan seandainya lupa bahwa Bandung pernah jadi tempat Soekarno menempuh pendidikan di THS (sekarang ITB) dan mendekam di penjara Sukamiskin karena idealismenya. Tapi lebih dari itu Bung, Bandung pernah melahirkan tokoh besar bagi bangsa ini, seorang yang dari suaranya saja bisa membuat kakimu bergetar mendengar, tapi entah bagaimana kisahnya hampir saja hilang ditelan waktu. Suara kritikannya pedas dan keras, itulah sebabnya ia dijuluki "Si Jalak Harupat" -- ayam jago yang pintar berkokok dan selalu menang jika diadu. Julukan ini berasal dari salah seorang guru HIS Cianjur bernama Wirasendjaja, kakak Sutisna Sendjaja pemimpin redaksi pertama surat kabar sunda Sipatahoenan. Namanya Oto Iskandar Di Nata. Disingkat Otista. Atau Otis demikian ia menyebut dirinya sendiri.

Nama Otista sekilas kukenal sebagai nama jalan di Jakarta dan di Bandung, namun pelajaran sejarah di sekolah tidak menyisakan secuil pun kisahan untuk didengar murid-muridnya. Tapi untunglah kisah hidup Si Jalak Harupat ini terangkum dalam buku ini, disampaikan dalam bentuk biografi politik yang menarik oleh Iip D. Yahya dengan teknik flashback yakni dengan terlebih dulu menceritakan kematiannya baru kemudian sepak terjangnya di dunia pergerakan, meski harus diberi catatan bahwa buku ini bukanlah buku satu-satunya dan pertamakalinya yang mengisahkan diri Oto Iskandar Di Nata. Ada paling tidak empat buku lainnya, termasuk buku Si Jalak Harupat: Biografi Oto Iskandar Di Nata karangan sejarawan wanita pertama Nina H. Lubis yang terbit tahun 2003 lalu.


Oto Iskandar Di Nata yang lahir di Dayeuhkolot Bandung itu dibunuh dengan dipancung di tepi pantai Ketapang, Mauk Tangerang tanggal 20 Desember 1945 sekitar jam 8.30 WIB. Yang mengeksekusi seorang polisi Mujitaba bin Murkam dari sebuah kelompok garis keras bernama Laskar Hitam, di bawah departemen pertahanan Direktorium Tangerang. Jasadnya kemudian dibuang ke laut dan hilang. Kasusnya lama didiamkan, baru 14 tahun kemudian diadakan penyelidikan dan akhirnya menyebabkan para pelaku dikenai hukuman penjara, tapi tetap "otak" di balik pembunuhan itu tak terungkap. Karena jasadnya tak ditemukan, yang dikubur di Bandung sana itu sekedar pemakaman simbolis, yakni gundukan pasir dari pantai Ketapang, Mauk. Secara investigatif, Iip menulis sejumlah kemungkinan "otak" di balik pembunuhan Oto, yang disusun berdasarkan sejumlah informasi yang ada di tahun-tahun menjelang kematian Oto dan juga kesaksian Djumadi yang menyaksikan eksekusi itu dari jauh.

Diceritakan oleh Iip D. Yahya, sangkaan bahwa Oto adalah "agen NICA" adalah dugaan yang tidak pada tempatnya. Iip menduga fitnah ini dihembuskan oleh pihak tertentu yang tidak suka pada kiprah Oto di Paguyuban Pasundan (PP), organ pergerakan yang basisnya amat kuat di seantero negeri Pasundan dengan menganalisis siapa yang akan diuntungkan dengan kematian Oto. Oto juga bukan mata-mata Jepang. Dua tuduhan itu lemah sekali bila didasarkan pada sikap kooperatif Oto pada penjajahan Belanda dan Jepang. Justru yang diuntungkan oleh kematian Oto adalah NICA, sehingga fitnah itu boleh jadi justru berasal dari mata-mata NICA yang melancarkan operasi gelap. Meskipun demikian, Iip memberikan juga kemungkinan bahwa aksi itu dilancarkan sendiri oleh Direktorium Tangerang pimpinan Achmad Chairun yang saat itu memisahkan diri dari RI. Yang justru mengherankan Iip adalah tidak adanya tanggapan cepat dari para politisi lain untuk mencegah peristiwa ini terjadi.

Bagian pertama tadi yang berisi misteri di balik kematian Oto ditulis begitu menarik. Iip menulisnya ibarat seorang ahli forensik yang bekerja teliti mengangkat renik-renik informasi yang berceceran. Bahkan Iip memberikan tabel pembanding dengan apa yang terjadi di saat yang sama dalam skala nasional. Meskipun tidak ada kesimpulan yang bulat, tetapi bagian ini sudah memberi penekanan yang penting pada judul buku yang diangkat: The Untold Stories.

Bagian kedua hingga terakhir dari buku ini mengulas siapa Oto Iskandar Di Nata dari sisi pergerakan politiknya di Paguyuban Pasundan, Volkstraad, hingga PPKI, pergerakan ekonomi, hingga pergerakan pendidikan. Semua sesuai dengan pandangan Oto Iskandar Di Nata bahwa ia hendak berkecimpung bukan hanya di bidang sosial, tapi juga bidang ekonomi, dan pendidikan, semua ditujukan untuk kemajuan bangsa Sunda. Iip bahkan merasa perlu membuktikan semua itu dengan mencantumkan pelbagai salinan naskah pidato Oto di kongres PP dalam bahasa Sunda berikut terjemahannya, interpelasi di dalam Volkstraad, surat pembelaan, dan salinan-salinan pembuktian lainnya hanya untuk memberi gambaran yang utuh tentang siapa Oto, arti pentingnya agar ia harusnya tidak sepi dari perhatian orang.

Lewat buku ini Iip memberi penegasan bahwa Oto adalah orang Sunda yang pertamakali punya tirakat untuk membubarkan PP karena sudah ada Budi Utomo yang menurutnya lebih tepat dijadikan kendaraan politik menuju persatuan, tetapi bahwa Oto pula orang yang akhirnya keluar dari BU dan memilih membesarkan PP hingga menjadi organisasi modern yang bergerak di bidang sosial-politik, ekonomi, dan pendidikan. Oto juga adalah orang yang pertama-tama mencetuskan teriakan "Merdeka", bukan Soekarno. Oto bukan ketua Persib seperti yang dilansir banyak orang, tetapi memang Oto adalah penyuka sepakbola dan merupakan pendukung berat kesebelasan Maung Bandung itu. Semua itu diangkat untuk memberi perimbangan atas tuduhan Oto itu seorang "provinsialistik" sebagaimana nyata benar dalam pemikirannya bahwa persatuan Indonesia lebih baik dicapai dengan jalan federalis daripada jalan unitaris.

Bung, berikut ini adalah bahan yang aku temukan di luar buku ini yang cukup menarik untuk dibaca. Dikutip dari sebuah sidang Volksraad tahun 1931 dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Coba kamu rasakan getar keberanian Oto ini agar ruhnya "hidup" dan tergambar padamu.


Oto Iskandar Di Nata: “… contohnya, sewaktu Ratu Wilhelmina ulang tahun pada tanggal 31 Agustus yang harus dirayakan di seluruh penjuru negeri. Para pengrehpraja sibuk mengumpulkan biaya perayaan dengan memotong gaji pegawai dan memungut iuran dari rakyat yang miskin. Katanya iuran itu sukarela, padahal merupakan pemaksaan. Mereka menurut karena takut. Maka uang itu tidak halal; pesta perayaannya juga tidak halal. Katanya Ratu itu ibu rakyat, bila dipestakan dengan cara begitu sama saja dengan merendahkan derajatnya. Tanda penghormatan itu hanya kemunafikan.”

Ketua Sidang: “Ucapan-ucapan itu sangat tidak pantas!”

Oto Iskandar Di Nata: “Memang tidak baik, tetapi Tuan Ketua, itu karena pesta itu merugikan pendidikan rakyat. Pesta-pesta hanya dipergunakan untuk meraih kedudukan. Saya yakin kalau Ratu mengetahui hal ini, beliau tidak akan mau dihormati dengan cara begitu. Bahkan mungkin marah!”

Tuan Frain: “Saudara buruk sangka, kepada rakyat Saudara sendiri!”

Oto Iskandar Di Nata: “Salah susunan!”

Tuan Monod de Froideville: “Biasa, menyalahkan orang lain!”

Oto Iskandar Di Nata: “Tentu, Lihat saja, berapa banyak rakyat Indonesia tidak mendapatkan pengajaran di sekolah!”

Tuan Hamer: “Bayar sekolah sendiri!”

Oto Iskandar Di Nata: “Itu urusan negara!”

Tuan Hamer: “Itu perkiraan Saudara saja!”

Oto Iskandar Di Nata: “Pendidikan yang ada sekarang hanya sebagai klerek pabrik dan jurutulis. Para pangrehpraja berperilaku sebagai penjilat, karena salah mendidik!”


Bung dan Nona, kau dapat gambaran yang kumaksud itu 'kan? Keberanian dan kepekaan pada masalah sosial macam pribadi Oto adalah hal yang membuat buku ini semakin menarik dibaca. Bagaimana cara pandangnya yang haus akan keadilan, membuat bukan saja Iip D. Yahya yang terpesona, tetapi juga diriku iri mengapa tokoh semacam ini makin langka saja dari Republik ini digantikan vokalis-vokalis yang lebih mementingkan kelompoknya sendiri, bukan bangsanya. Memang sejarah hanya merupakan catatan masa lalu, tetapi dengan berbekal catatan masa lalu itu, bukankah dapat dititi masa depan yang lebih baik.

DETIL BUKU
Oto Iskandar Di Nata: The Untold Stories
Karya Iip D. Yahya

Terbit Desember 2008 oleh FDWB Publishing
Binding: Paperback
ISBN: - (isbn13: 9789791772907)
Halaman: 266
Cetakan kedua
Rating: 3/5

1 balasan:

AJ Susmana mengatakan...

Bung untuk dapat buku Otis: untold stories..gimana caranya ya? saya bisa dihub di 081286959527

Posting Komentar

 
Konten blog Fans Berat Buku bersifat personal.
Template Blogger Theme dari BloggerThemes Desain oleh WPThemesCreator