tag:blogger.com,1999:blog-60125290101931036952024-02-20T13:01:19.263-08:00Fans Berat BukuSuatu timbangan bagi buku IndonesiaAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.comBlogger88125tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-8680732494230531862015-09-17T11:24:00.001-07:002015-09-17T11:31:39.657-07:00Kitab Memulai Bisnis Startup<p dir="ltr">JUMLAH orang kreatif dan ulet berusaha di Indonesia cukup banyak. Apalagi Indonesia menikmati bonus demografi dengan jumlah angkatan kerja yang melimpah. Itu membuat Indonesia selain menjadi kantong pasar yang gemuk juga menyimpan daya produktivitas yang siap memberi perbedaan.</p>
<p dir="ltr">Hal ini bisa dilihat dari sekian banyak wirausaha yang muncul dari Indonesia dan gerakan usaha kecil menengah. Misalnya saja pukau dari Tokopedia, Gojek, Touchten hingga usaha menghidupkan kembali Pasar Santa yang diusung anak-anak muda Jakarta. Bagi saya itu sudah menunjukkan Indonesia memang punya potensi dan bila ada jalan maka akan menjadi negara yang sarat usaha.</p>
<p dir="ltr"><b>Solusi Kendala Klasik</b></p>
<p dir="ltr">Saya juga melihat ada crowdsourcing hingga inkubator bisnis wirausaha yang kini bisa menjadi solusi dari kendala klasik: modal dan manajemen bisnis. Tapi bagi banyak orang, semua terasa tidak mudah ditembus. Bahkan ada yang tidak tahu dari mana harus memulai jika sudah memiliki ide bisnis yang bagus.</p>
<p dir="ltr">Nah di titik inilah sharing pengetahuan dan pengalaman Anis Uzzaman sebagai CEO Fenox Venture Capital sekaligus penulis buku Startupedia ini menjadi penting. Fenox adalah perusahaan Venture Capital yang berperan besar pada kesuksesan banyak start up lokal maupun global.</p>
<p dir="ltr">Anis Uzzaman tidak pelit membagi pengetahuan dasar yang perlu diketahui para pembaca yang ingin mempunyai wirausaha, mulai dari bagaimana memulainya, memilih tim, memasarkan hingga mencari solusi pendanaan. Ia tidak segan-segan memberi catatan kaki untuk istilah-istilah yang terlalu teknis, menggambarkan bagan hingga membagi sharing pengusaha startup yang berhasil. Ia menulis dengan cermat seperti menghadapi dengan tenang semua pertanyaan dari para pembaca.</p>
<p dir="ltr"><b>Bukan Buku Jitu Atau Cara Cepat</b></p>
<p dir="ltr">Yang patut diacungi jempol adalah buku ini tidak bombastis memberikan janji cara jitu atau cepat sukses dan kaya raya yang menggampangkan banyak hal. Penulis meletakkan semua dalam proporsi bahwa apa yang ditulisnya merupakan acuan praktis dalam menjalani bisnis start up. Padahal ia bisa saja dan cukup legitimate untuk mengatakan hal tersebut dengan segudang pengalaman dan pengetahuan.</p>
<p dir="ltr">Hal lain yang positif direspon dari buku ini adalah kesederhanaan bahasa. Saya yakin tidak banyak orang yang cukup sabar untuk menyederhanakan pikirannya ke bahasa yang mudah dipahami bahkan bukan oleh orang yang terbiasa membaca buku bisnis.</p>
<p dir="ltr">Namun buku ini bisa diperbaiki dan dilengkapi dengan pengantar yang lebih memadai mengenai Silicon Valley dan detil proses pembuatan start up di Indonesia menyangkut status hukum dan pajak.</p>
<p dir="ltr">Detil buku:</p>
<p dir="ltr">Judul: <b>StartupPedia</b><br>
Karya Anis Uzzaman</p>
<p dir="ltr">Terbit: Maret 2015<br>
Penerbit: Bentang Pustaka. <br>
ISBN: 9786022910923<br>
Tebal 245 halaman. <br>
Binding: Paperback<br>
Rating: 4/5</p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0tFcTCs5z7lY2ADQs0sg2w1kby_b9dTbnJSL5tlU9zetqLm8DN7nbFfShScT8bPzQheUGukwV05hfEBPDgqFIEnS2Kha0AqHK2SM0C08j2FXHXYUCOiY_-JWZXK5OYcyXzxvsKeMYASuh/s1600/IMG_f0rew7.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> <img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0tFcTCs5z7lY2ADQs0sg2w1kby_b9dTbnJSL5tlU9zetqLm8DN7nbFfShScT8bPzQheUGukwV05hfEBPDgqFIEnS2Kha0AqHK2SM0C08j2FXHXYUCOiY_-JWZXK5OYcyXzxvsKeMYASuh/s640/IMG_f0rew7.jpg"> </a> </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-62294284320892041612015-09-16T04:30:00.001-07:002015-09-16T04:30:56.598-07:00Biografi (Terlalu) Pendek untuk Penyair Danau Toba<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTLUb5GBBv7BFNF90eVPFqyZPCbbcu-qTIke2eZ2sG95udLNpKEFwgTH-n6I_wDEnOrxvt5q5BDisVgng13fuVTF7r5-iw9fuSUZfzm77bJr9SFjW5Tt_cDYIgHmybN-q0hL3uRU3cBD36/s1600/Screen+shot+2015-09-16+at+6.28.44+PM.png" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="204" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTLUb5GBBv7BFNF90eVPFqyZPCbbcu-qTIke2eZ2sG95udLNpKEFwgTH-n6I_wDEnOrxvt5q5BDisVgng13fuVTF7r5-iw9fuSUZfzm77bJr9SFjW5Tt_cDYIgHmybN-q0hL3uRU3cBD36/s320/Screen+shot+2015-09-16+at+6.28.44+PM.png" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: Poriaman Sitanggang</td></tr>
</tbody></table>
INILAH biografi pendek dari penyair Danau Toba yang pada tanggal 20
Desember 2014 wafat dan menjadi sastrawan angkatan ’45 paling akhir yang
tutup usia. Ditulis oleh sejarawan JJ Rizal, yang mulai dekat dengan
sosok sastrawan ini karena tugas skripsinya, dan menurut keterangannya
sendiri, ia menulis buku ini tanpa henti selekas ia mendengar
berpulangnya Sitor Situmorang di Apeldorn, Belanda. Kurang lebih hanya
dua minggu waktu yang dibutuhkan oleh JJ Rizal dan penerbit Komunitas
Bambu untuk menyelesaikan pembuatan buku yang digadang oleh JJ Rizal
sebagai biografi pendek dari Sitor Situmorang.<br />
<br />
<strong>Biografi Pendek?</strong><br />
Kata “pendek” di judul buku ini mungkin dimaksudkan JJ Rizal sebagai
sebuah awalan. Sebuah versi ringkas. Mungkin, suatu hari nanti akan ada
versi panjangnya. Namun saat pembaca mulai mendalami isi tulisan
biografi pendek karya JJ Rizal kita akan tahu bahwa yang sebenarnya
dimaksudkan pendek itu sebenarnya panjang (kompleks) juga.<br />
<br />
Sebagai pembaca misalnya, saya sempat bertanya-tanya begitu tahu
bahwa Sitor Situmorang adalah anak tokoh Batak yang sangat terkenal. Ia
anak dari Ompu Babiat, tangan kanan Si Singamangaraja yang dianggap
sebagai Raja Batak. Itu artinya, setelah kita pahami posisi Ompu Babiat
dalam adat istiadat Batak, ikatan tradisional Batak seharusnya melekat
kuat pada diri Sitor. Tapi sebagaimana kita tahu, Sitor adalah orang
Indonesia. Ia menjadi orang Indonesia yang tidak hanya dimiliki oleh
suku Batak tetapi oleh banyak orang dari beragam suku bangsa.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcoSWriArCVZ0Hm3-cc9NlSaCTBNXcZjiMVMi1BZYu5aGZfvlNTj_cajcUsTxwuuPf6AuhzPojgHd4UpJcW2cCwmmoz6dxVY2AVq4Mj9Gi0BqnwlX8AXBEI_mbNdXp9SSqQpVN3N1xzg97/s1600/biografisitor.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcoSWriArCVZ0Hm3-cc9NlSaCTBNXcZjiMVMi1BZYu5aGZfvlNTj_cajcUsTxwuuPf6AuhzPojgHd4UpJcW2cCwmmoz6dxVY2AVq4Mj9Gi0BqnwlX8AXBEI_mbNdXp9SSqQpVN3N1xzg97/s1600/biografisitor.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sitor Situmorang, Komunitas Bambu 2015</td></tr>
</tbody></table>
<strong>Persoalan dengan Biografi Pendek</strong><br />
Namun ada persoalan juga bila kita elu-elukan perihal pendeknya buku
ini. Meskipun JJ Rizal berusaha meringkas apa yang terjadi pada puncak
karir Sitor pada periode 1957-1967, kita tahu sebenarnya pada dekade itu
banyak sekali terjadi peristiwa politik yang tidak bisa disingkat
begitu saja menjadi beberapa halaman. Pilihan Sitor untuk belajar dunia
film di AS di tengah suhu politik yang masih gonjang-ganjing pasca
merdeka, yang bisa kita baca dari beragam sumber sejarah lain, itu masih
perlu dijelaskan secara lebih lugas. Benarkah ia ingin berkecimpung
dalam dunia film? Kalau benar, mengapa tak cukup banyak jejak Sitor
dalam film nasional? Apa peran yang ia mainkan dalam posisinya sebagai
Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional untuk perfilman nasional?<br />
<br />
Atau adakah cerita versi lain yang bisa dikumpulkan lewat proses
penulisan sejarah yang barangkali bisa segera dipikirkan oleh JJ Rizal
mulai sekarang. Ini baru satu catatan saja dari setiap perikop hidup JJ
Rizal yang ia beberkan dalam buku ini.<br />
<br />
Namun sebagai pembaca, saya boleh sedikit merasa puas pada buku tipis
ini. Paling tidak, ia melengkapi pembacaan-pembacaan atas diri Sitor
Situmorang yang selama ini masih tercecer. Pada akhirnya, saya mengamini
pandangan JJ Rizal bahwa Sitor Situmorang, memang tidak bisa hanya
disematkan jasanya sebagai sastrawan angkatan ’45, tetapi ia punya
banyak peran yang perlu digali dan bisa disebarkan sebagai inspirasi
bagi orang Indonesia zaman sekarang.<br />
<br />
Detil buku:<br />
<br />
Judul: <strong>Sitor Situmorang: Biografi Pendek 1924-2014</strong><br />
Karya JJ Rizal <br />
<br />
Terbit Januari 2015<br />
Penerbit Komunitas Bambu<br />
ISBN : 978-602-9402-64-3<br />
Tebal : 186 halaman<br />
Binding : Paperback <br />
Rating: 3/5Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-78312758044841018302015-09-16T04:15:00.000-07:002015-09-16T04:18:47.506-07:00Penelusuran Sejarah Asal Nama Malioboro & Yogya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHFp-iJ2_1q1qbWbJeDS4awgTOB7CVDOOtqrSCqRHB9OifIQGmzKXVrAXzWz7sIstT4RQ1qPbsoJgHYlXOVZ7HbZN3xZ2EWy4pbpBpLs_GWJuStDinSamXsXt-iFpcihJg7H04me7vP993/s1600/asalusulnama.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHFp-iJ2_1q1qbWbJeDS4awgTOB7CVDOOtqrSCqRHB9OifIQGmzKXVrAXzWz7sIstT4RQ1qPbsoJgHYlXOVZ7HbZN3xZ2EWy4pbpBpLs_GWJuStDinSamXsXt-iFpcihJg7H04me7vP993/s320/asalusulnama.jpg" /></a></div>
APAKAH nama Malioboro itu benar-benar berasal nama bangsawan Inggris, John Churchill, yang mendapat gelar First Duke of Marlborough (1650 -1722)? Apakah nama Yogyakarta merupakan peluruhan dari kota Ayodhya yang ada dalam kitab Ramayana?<br />
<br />
Buku tipis setebal 110 halaman ini memuat 3 argumentasi dari Indonesianis ternama: Dr. Peter Carey yang mempunyai reputasi sebagai sejarawan peneliti Pangeran Diponegoro, Dr. Jacobus Noorduyn sebagai ahli bahasa, dan MC Ricklefs yang dikenal sebagai ahli tentang Jawa. Pokok perkaranya adalah menjawab asal-usul nama Malioboro dan Yogyakarta.<br />
<br />
Apa argumentasinya?<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Pertama, tentang asal-usul nama Malioboro. Peter Carey mencoba membangun bantahan bahwa nama Malioboro diabadikan dari nama bangsawan Inggris terkenal Duke of Marlborough, dengan argumentasi:<br />
<br />
1/ periode pemerintahan Inggris di Indonesia tidak lama,<br />
<br />
2/ janggal memberi nama jalan sepenting jalan kerajaan berdasar nama orang yang menjajah,<br />
<br />
3/ Inggris tidak sepenting itu bagi kerajaan Mataram.<br />
<br />
Maka Peter Carey mencoba menafsir nama malioboro dari sumber lain. Ia berargumen nama tersebut diadopsi dari bahasa Sansekerta “malyabhara”. Istilah Sansekerta “malya” ( untaian bunga ), “malyakarma” ( merawat untaian bunga ), “malyabharin” (menyandang untaian bunga) menurut Peter Carey dapat ditemukan dalam kisah Jawa kuno. Ketiganya bisa dicari dalam kitab Ramayana abad ke-9, kitab Adiparwa dan Wirathaparwa abad ke-10, dan Parthawijaya abad ke-14.<br />
<br />
Argumentasi Peter Carey ini dibantah oleh Jacobus Noordyun dengan cara sederhana: kutipan Ramayana yang dijadikan dasar argumen Peter Carey bukanlah Ramayana yang berasal dari Jawa Kuno, melainkan versi Walmiki. Jadi itu sebabnya, tidak ada istilah “malyabhara” dalam sansekerta Jawa Kuno. Meskipun demikian, Noordyun menandaskan kreativitas menggabungkan dua kata “malya” dan “bhara” menjadi satu arti baru bisa saja terjadi, meskipun tidak ada bukti tertulis.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiC86Z4kRN9FMor7rfoi9cUKw_V8E7n6u-a8xQ4HPTnW7qxnNQz-khRq1sv_W8T_o5-pp63_HPMUZ0ghkuWPaTWwyF6sRGy1s4_AYJbyLd9hckutzhvs8uoNPW3tiZ0oahtSQ1t6in7xop/s1600/asal-usul-nama-yogyakarta-maliobroro.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiC86Z4kRN9FMor7rfoi9cUKw_V8E7n6u-a8xQ4HPTnW7qxnNQz-khRq1sv_W8T_o5-pp63_HPMUZ0ghkuWPaTWwyF6sRGy1s4_AYJbyLd9hckutzhvs8uoNPW3tiZ0oahtSQ1t6in7xop/s320/asal-usul-nama-yogyakarta-maliobroro.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Asal Usul Nama Yogyakarta Malioboro, Komunitas Bambu 2015</td></tr>
</tbody></table>
Kedua, tentang asal-usul nama Yogyakarta. Peter Carey membunyikan lagi argumentasi Tichelaar bahwa kata Yogya dipengaruhi oleh nama kota Ayodhya, tempat kediaman Sri Rama dalam Ramayana. Ia menuliskan argumennya pada tahun 1976 di jurnal Archipel. Atas argumentasi ini, Noordyun menanggapinya 4 tahun kemudian, tahun 1980 di jurnal yang sama. Noordyun mencoba melandaskan argumennya pada catatan-catatan yang ada sebelum tahun 1755 ketika kerajaan Mataram pecah menjadi dua lewat perjanjian Giyanti. Ia menemukan bahwa catatan tentang tempat bernama Yogya atau Ayogya sudah muncul pada catatan tahun 1743. Bahkan ada catatan yang lebih tua lagi yang bila ditelusur bisa menjelaskan nama yang dipakai sebelum menjadi Yogya atau Ayogya yaitu Garjitawati. Dalam temuan Noordyun, Yogya atau Ayogya telah lama dikenal sebagai pesanggrahan, tempat peristirahatan untuk berburu/berkemah di dalam hutan. Sehingga meskipun upaya mengaitkan kota Yogya dengan Ayodha terkesan cocok, pada dasarnya tidak ada bukti.<br />
<br />
Ricklefs semakin menandaskan fakta ini dengan memberi petunjuk, penamaan Garjitawati menjadi Yogya atau Ayogya terjadi pada masa Amangkurat II. Lalu apa artinya? Ternyata masih bisa dicari dari kosa kata Jawa modern: Yogya atau Ayogya berarti “layak, sesuai”. Jadi bisa dikesampingkan arti-arti lain yang terlalu dibuat-buat.<br />
<br />
Buku yang terbit Januari 2015 ini tepat dibaca bagi pembaca dan warga Yogya yang belum lama ini disodori city branding “Jogja Istimewa” agar tidak keliru dalam memaknai kota tempat mereka tinggal.<br />
<br />
<br />
Detil buku:<br />
<br />
Judul: <b>Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro</b><br />
Karya Peter Carey, Jacobus (Koos) Noorduyn, dan M.C. Ricklefs <br />
Terbit: Januari 2015<br />
Penerjemah : Gatot Triwira<br />
Penerbit : Komunitas Bambu<br />
ISBN : 978-602-9402-62-9<br />
Tebal : 110 halaman<br />
Rating: 5/5Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-41324690732604633822012-12-17T04:08:00.000-08:002012-12-17T04:10:37.727-08:00Merekam Sejarah Jalan Bangsa Dalam Panel Komik<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEighi6-Uy3TRt_YFhjQVNhd2D1s5DSSWtXJSpMe4OyK-drnK8oAYPkZ0aaDLUrBqbCvW2Pb3YtKqDJWs8JFChEcT4fbX5lYSBobWgPNZlmNFNlsVPXkt4WPhpRx2wqzZPUy6rIestJEDemY/s1600/tigamanula.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEighi6-Uy3TRt_YFhjQVNhd2D1s5DSSWtXJSpMe4OyK-drnK8oAYPkZ0aaDLUrBqbCvW2Pb3YtKqDJWs8JFChEcT4fbX5lYSBobWgPNZlmNFNlsVPXkt4WPhpRx2wqzZPUy6rIestJEDemY/s320/tigamanula.jpg" height="181" width="320" /></a></div>
MEMINJAM mata batin Waluyo, manula kelahiran Tingal, satu tokoh di dalam seri komik Tiga Manula ini, maka saat memandang jalur Pantura, kependekan dari Pantai Utara, saya melihat pemandangan bukan semata debu aspal dan kemacetannya, tetapi menerobos
jauh melintasi waktu, ke masa lebih dari 200 tahun yang lalu, ketika Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda membuat proyek jalan untuk menghubungkan Anyer, Banten hingga Panarukan, Jawa Timur hingga mengorbankan 12.000 tenaga kerja pribumi. Inilah jalan yang mengubah nasib bangsa. Sebagai jalan untuk memudahkan perpindahan logistik perang, Daendels memfungsikan jalur itu pertama-tama untuk keperluan mempertahankan wilayah jajahan militer dan jasa pos Belanda. Pembangunan jalan yang ambisius dikerjakan mulai tahun 1809 dan selesai tahun 1810.<br />
<br />
Pramoedya Ananta Toer pernah mengisahkan dalam film <i>Grote Postweg (Jalan Raya Pos)</i> bahwa jalan di sisi utara Jawa ini dari Anyer di ujung barat sampai Panarukan di ujung Timur mencapai kurang lebih 1.000 km, terpanjang di dunia saat itu. <br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Studi-studi sosiologi, khususnya yang berparadigma kemajuan, selalu mengangkat persoalan jalan sebagai infrastruktur penting menuju modernisasi. Maka, jalan Grote Postweg atau jalan Daendels, atau yang hari ini kita kenal dengan nama jalan Pantura merekam catatan sejarah penting bagaimana Indonesia mengenal modernisasi dari jarak angka tahun 1810 sampai tahun ini. Nilai ekonomis dari daerah yang dilalui pun meningkat. Kota-kota yang dilewati menjadi sentra-sentra ekonomi dan politik yang tidak bisa diabaikan. Saya pikir tidak ada jalan di Indonesia yang lebih penting untuk dikupas persoalan sejarahnya dan implikasi sosio-ekonomisnya daripada jalan
Pantura ini sendiri. Ketika ramai dibicarakan mengenai Trans Jawa, langsung berkelebat di kepala saya nasib jalan seperti Route 66 di Amerika Serikat yang merentang dari Chicago ke Los Angeles sepanjang 2,400 mil. Jalan yang dibangun 1926 dan diabaikan pada 1945 sama-sama merekam "national heritage" sebuah bangsa. Ketika jalan itu ditutup, seketika itu juga terjadi "kiamat kecil" bagi kota-kota yang dilaluinya. Kebangkrutan.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoDh4ntsTS_Di5Ab157EW1A69Kvw2A8rs_oMv8FCQPT7wv4VJWj1AtcPW_FqRCIu1WSV1XGr82KYfWZvjTrZ28MNCbJm6J_ZfDa6Y6UqCadBiCW5ufHxgfjIoFdfebHXyd9MPghdvud4W2/s1600/c-pantura.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoDh4ntsTS_Di5Ab157EW1A69Kvw2A8rs_oMv8FCQPT7wv4VJWj1AtcPW_FqRCIu1WSV1XGr82KYfWZvjTrZ28MNCbJm6J_ZfDa6Y6UqCadBiCW5ufHxgfjIoFdfebHXyd9MPghdvud4W2/s1600/c-pantura.jpg" height="220" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Komik "Tiga Manula Jalan-Jalan ke Pantura"<br />
karya Benny Rachmadi, KPG 2012</td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr>
</tbody></table>
Lepas dari itu, memang banyak dari kita yang mengalami suka-duka perjalanan "mudik" menjelang Hari Raya di jalan Pantura. Potongan kisah yang beraneka itu, bila dikumpulkan barangkali dapat menjadi sebuah buku travel yang luar biasa tebalnya. Dari kacamata demikian inilah saya menilai apa yang dilakukan Benny Rachmadi dengan memuat kisah perjalanan Liem, Sanip, Waluyo sepanjang jalur Pantura adalah upaya merekam "warisan nasional" dalam bentuk buku komik. Tujuan akhir ke Tingal bukanlah hal yang utama, tetapi proses perjalanan itu sendiri yang penting. Ia bukan hanya mencatat lokasi sepanjang jalan Pantura, tetapi juga manusia-manusia yang hidup di jalan tersebut, mitologi yang diwakili kisah hantu, serta tujuan wisata dan kuliner, menjadikan buku komik ini dapat disebandingkan dengan jenis
tulisan perjalanan (travel writing) yang sedang naik daun.<br />
<br />
Jelas di mata saya, Benny Rachmadi bukan sedang bermanis-manis mengenang jalan yang secara kasat mata penuh lubang, berdebu, namun eksotis itu, tetapi ia sedang melakukan rekam jejak bersejarah -- membuat peninggalan penting bagi kita, sekali waktu nanti jalan Pantai Utara ini digantikan oleh Trans Jawa. Kelak bila waktunya tiba, banyak dari kita akan berterima kasih pada upaya cerdas ini, yang sama sekali tak membuat kening kita berkerut-kerut, tetapi akan tertawa terbahak-bahak bagaimana sebuah bangsa bisa memiliki warisan nasional yang demikian.<br />
<br />
Detil Buku<br />
<b>Tiga Manula Jalan-jalan ke Pantura</b><br />
Karya Benny Rachmadi<br />
Terbit November 2012 oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 9789799105073<br />
Tebal: 104 halaman<br />
Rating: 4/5 Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-19355880807357507982012-10-02T08:19:00.000-07:002012-10-02T08:34:17.710-07:00Hilangnya Kesadaran dan Hal-Hal Absurd Dalam Hidup<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXzVnMyve6byskxpU05Xk0i1vPiMhq1oSNvknbwdTC8y5PROTVMp24qOGQMUrCNvonZNoQX4nTu4GP9IJ57OulqNguypOpsM0MdkfmZiPw7yCh52e6_rfQKgsbNtPtDFwcvVj-BRlVnnfh/s1600/katzenjammer.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXzVnMyve6byskxpU05Xk0i1vPiMhq1oSNvknbwdTC8y5PROTVMp24qOGQMUrCNvonZNoQX4nTu4GP9IJ57OulqNguypOpsM0MdkfmZiPw7yCh52e6_rfQKgsbNtPtDFwcvVj-BRlVnnfh/s320/katzenjammer.jpg" width="320" /></a></div>
MABUK. Sebuah keadaan dimana seseorang hilang kesadarannya. Itulah terjemahan dari "katzenjammer" yang dijadikan judul novel ini oleh Stefani Hid. Meskipun nama penulis ini masih asing bagi saya sebagai pembaca, tetapi karyanya ini entah bagaimana mampu membangkitkan ingatan saya pada novel-novel pergulatan pemikiran yang sering saya temukan di tulisan-tulisan Budi Darma, Danarto, dan Putu Wijaya.<br />
<br />
Kisah di dalam novel ini terkonsentrasi pada dua tokoh: Aya dan Henning. Meskipun Aya, seorang gadis Indonesia kelahiran Surabaya, dan Henning, seorang pria Jerman, keduanya boleh dibilang memiliki kesamaan.<br />
<br />
Keduanya sama-sama dibekap oleh pikiran-pikiran mereka sendiri sehingga sulit keluar untuk mengambil pilihan hidup yang rasional. Keputusan-keputusan dibuat oleh keduanya bagaikan mereka yang dijerat oleh ketergantungan pada alkohol, juga terjerat oleh mimpi-mimpi yang dibangun oleh prasangka yang dibuat mereka sendiri. Semisal Aya, begitu lulus sebagai sarjana bahasa Inggris, tiba-tiba melontarkan dirinya sendiri dari Depok di tahun 2004 ke Eropa hanya untuk memenuhi hasratnya untuk menjadi seorang pemilik lahan di sebuah desa sunyi di Eropa. Menyendiri, melakoni hidup baru, mencabut begitu saja akar-akar di dalam dirinya yang kemudian digantikan pemikiran-pemikiran baru yang ia cangkok dari bacaan-bacaan yang disukainya: kisah Sisifus dari Albert Camus.<br />
<br />
Tetapi Aya tak seperti Sisifus yang dimaksudkan Albert Camus. Ia tidak pernah membayangkan bagaimana pada akhirnya Sisifus menjadi bahagia pada pilihan hidupnya. Aya terjebak menjadi Sisifus yang melulu menjalani takdirnya yang absurd: menggelindingkan bola batu raksasa ke puncak gunung dan terjatuh, lalu menggelindingkannya kembali. Aya menjalani hidupnya dari satu kemapanan menuju kemapanan yang lain tanpa pernah merasa bahagia dan semakin jauh dari rencananya semula.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Begitu juga dengan Henning Herman Wiebrock atau panggil saja Henning. Pria anak seorang pemabuk yang sebal pada ayahnya yang juga pemabuk dan teman-teman ayahnya yang juga pemabuk, tetapi pada akhirnya menjalani hari-harinya dari satu botol Absinth ke botol-botol minuman keras berikutnya. Menyembunyikan semua kekurangannya itu dengan berpegang pada mimpinya untuk menjadi penulis serta lari dari kesialan yang selalu menimpa hidupnya.<br />
<br />
Satu ketika, keduanya bertemu dan kemudian merasa cocok satu sama lain, lalu saling jatuh cinta tanpa menyadari satu sama lain membawa kisah-kisah paling tak terpikirkan sebelumnya. Ujian bagi cinta mereka dan pilihan hidup mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa Aya baru saja membunuh pacarnya dengan sebuah asbak merah dan Henning tak lebih dari seorang nihilis yang setiap malam selalu berharap mati di saat tidur. Bila ingin membaca novel ini, bersiaplah lebih dulu untuk masuk ke keadaan "katzenjammer" -- mabuk ini.<br />
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilEHzBcAjJid_3d3Aqsv14Gh7bbNdQQvzC-NyYodbCwM1qHFh6k80oGW6DoouZ8cgV8WsOuE6mbQQfDm33fFTsKWc0Gcw1qkhdosUJ2Ri1VE2RyzzJfxmKlJ8045aM_DOnJF1JEHb2SK4P/s1600/n4dqpp.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilEHzBcAjJid_3d3Aqsv14Gh7bbNdQQvzC-NyYodbCwM1qHFh6k80oGW6DoouZ8cgV8WsOuE6mbQQfDm33fFTsKWc0Gcw1qkhdosUJ2Ri1VE2RyzzJfxmKlJ8045aM_DOnJF1JEHb2SK4P/s200/n4dqpp.jpg" width="134" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Novel "Katzenjammer" karya Stefani Hid, GPU 2012</td></tr>
</tbody></table>
Novel ini dituliskan dalam alur maju-mundur, tetapi pembaca dapat cukup mudah mencari jalinannya jika mengikuti lini waktu yang disertakan Stefani Hid di kepala bab.<br />
<br />
Kesulitan saya menikmati bacaan ini hanya sedikit terganjal di bab 10 yang demikian pendek untuk alasan yang tak saya pahami mengapa. Bagian lain yang saya bayangkan akan lebih tajam konfliknya adalah ketika kedua nihilis ini berada di Budapest, 5 tahun setelah Aya pergi dari Indonesia. Apakah pada akhirnya Aya dan Henning tersadar dari keadaan "katzenjammer"-nya? Atau malahan dua-duanya absurd sekalian tidak pernah mempertimbangkan untuk bunuh diri, sama seperti bagaimana Albert Camus dalam Mite Sisifus selalu mengatakan: <i>"Memutuskan apakah hidup layak diteruskan atau tidak adalah persoalan mendasar di dalam filsafat. Semua persoalan lainnya berasal dari itu."</i><br />
<br />
Detil buku<br />
<b>Katzenjammer</b><br />
karya Stefani Hid<br />
Terbit Agustus 2012 oleh Gramedia Pustaka Utama<br />
Tebal: 226 halaman<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN:9789792286854<br />
Rating: 3/5Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-52524923097123788322012-09-28T01:13:00.001-07:002015-09-16T04:25:14.126-07:00Semua Berawal dari Ibu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQfFcN6yhutuzz_jBAPUZ9RWlgRHZso3bo9UwJiMrqWWUf38fAR8rYMaAx7cMy_rEUmO17cafl_G-bInG6GFIfyNKRX-5Wdxu_vh45wQi3zy2vIxbI8JjLMDz8YcYOtaN5RxB9eyWtsyON/s1600/IMG_4559.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="239" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQfFcN6yhutuzz_jBAPUZ9RWlgRHZso3bo9UwJiMrqWWUf38fAR8rYMaAx7cMy_rEUmO17cafl_G-bInG6GFIfyNKRX-5Wdxu_vh45wQi3zy2vIxbI8JjLMDz8YcYOtaN5RxB9eyWtsyON/s320/IMG_4559.JPG" width="320" /></a></div>
KALAU saja keponakan Iwan tidak berseloroh ingin menjadi orang hebat seperti pamannya yang bekerja di New York, barangkali kisah anak supir angkot yang sukses ini tidak akan pernah sampai ke tangan pembaca. Pada saat itu, Iwan Setyawan, pria kelahiran Batu, 2 Desember 1974, sedang asyik menikmati siaran televisi bersama dengan keponakan dan selorohan itu membuatnya berpikir. Betapa kelirunya jika memahami kesuksesan yang ia raih tanpa mengerti kisah perjuangan panjang yang harus dilaluinya sedari kecil. Maka dari sana, Iwan berupaya menulis sebuah kisah lengkap tentang dirinya dan keluarga yang ingin ia persembahkan bagi sang keponakan.<br />
<br />
Iwan bercerita bahwa kali pertama ia menulis kisah <i>9 Summers 10 Autumns</i>, novel biografi pertamanya yang sukses, justru diawali dengan rasa minder. Ia menilai <i>draft</i> pertama tulisan itu sangat memalukan untuk dibaca. Selain kemampuan menulisnya yang belum terasah, ketrampilan untuk membangun dialog dalam bahasa Indonesia menjadi kendalanya. Pasalnya, Iwan terbilang cukup lama berjarak dari negeri ini setelah 10 tahun berkarir di New York. Namun lewat proses menulis berkali-kali, akhirnya <i>draft</i> tersebut menjadi tulisan yang lebih baik lagi.
<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
<b>Menulis Masa Lalu Butuh Keberanian</b><br />
Menulis kisah hidup bagi Iwan bukan perkara mudah. Ia harus kembali menghadapi masa lalunya dan untuk menuliskannya butuh kemampuan untuk mengatasi emosi-emosi yang muncul terkait dengan kejadian masa lalu. Butuh lebih dari sekedar kemauan, Iwan merasa membutuhkan keberanian untuk mengenang kisah hidupnya yang penuh perjuangan.<br />
<br />
Sebagai anak supir angkot, Iwan harus terbiasa dengan kesederhanaan. Begitu sederhananya, sampai-sampai impian Iwan hanyalah ingin memiliki kamar sendiri. Impian ini ia kejar sampai ke kota New York dan akhirnya ia mendapatkan lebih dari yang ia angankan. Ketika kisah-kisah ini mulai ia tuliskan dan dikumpulkan sebagai bahan buku yang akan diberikan kepada keponakannya, pada suatu ketika Iwan dipanggil ibunya.
Ibu Ngatinah, ibu kandung Iwan, bertanya hendak diapakan kisah-kisah itu. Lalu Iwan menjawah hendak ia jadikan buku keluarga dan diberikan kepada keponakannya sendiri, tidak untuk dipublikasikan. Iwan berpendapat takut kalau dipublikasikan malah terjadi apa-apa pada keluarga. Tetapi ibu Iwan berpendapat lain. Menurutnya, tidak ada salahnya membuat kisah itu lebih diketahui banyak orang, karena tidak ada satupun yang terjadi pada keluarga. Iwan didorong untuk membuat kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak orang.<br />
<br />
<br />
Mulailah Iwan lebih serius menulis kisahnya dan kemudian terbitlah novel biografi <i>9 Summers 10 Autumns</i>. Novel ini diakui Iwan lebih terpusat pada kisah Iwan sendiri mulai dari anak kecil seorang supir angkota di kota apel Malang hingga menjadi direktur perusahaan swasta di kota Big Apple New York. Bagi Iwan, tidak banyak kesulitan untuk mencari bahan cerita, karena semua berdasar ingatannya semasa kecil, kuliah di Institut Pertanian Bogor, hingga bekerja di Jakarta dan kemudian New York.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAeJv-Qpb_tBVSnfzVLFRROluHOlVrbxY5r50iG4cof-uJ3UoLc6SS2ZNOFxQmDGdO1MhIYx7Je2wD7nCT2gQdeTsM8-RrUIBqSJiLNsAt5eusmWKJjI6kKzUhPhEckf8TGuC3LgPrdLE5/s1600/IMG_4558.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="238" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAeJv-Qpb_tBVSnfzVLFRROluHOlVrbxY5r50iG4cof-uJ3UoLc6SS2ZNOFxQmDGdO1MhIYx7Je2wD7nCT2gQdeTsM8-RrUIBqSJiLNsAt5eusmWKJjI6kKzUhPhEckf8TGuC3LgPrdLE5/s320/IMG_4558.JPG" width="320" /></a></div>
<b>Beda Buku, Beda Tantangan</b><br />
Kesulitan justru mulai tampak saat setahun kemudian ia menulis novel biografi keduanya <i>Ibuk,</i> yang baru diluncurkan tahun ini. Untuk novel kedua tersebut, Iwan mengumpulkan bahan cerita dari bertanya ke ibu Ngatinah, ibu kandungnya sendiri, kakak-kakaknya, hingga teman-teman ayah dan ibunya. Mengapa Iwan harus melakukan ini? Karena ia tidak menyimpan masa lalu kenangan bagaimana ayah dan ibunya bertemu dan semisal, kemana mereka biasanya pergi, dan lain-lainnya. Cara ia mengumpulkan informasi itu dilakukannya sambil mengobrol, sembari menonton televisi, di saat luang, bukan dengan cara-cara riset yang sebetulnya sangat Iwan kuasai.<br />
<br />
Novel ini Iwan rencanakan bercerita tentang Ibu Ngatinah, ibunya yang menjadi sumber inspirasi penulisannya. Namun situasi drastis berubah. Ayah Iwan mendadak meninggal dunia. Sempat dua bulan Iwan tidak dapat menulis. Iwan menderita <i>Writer's Block</i>. Iwan lalu memutuskan berganti sudut pandang cerita. Lalu Iwan ganti menuliskan <i>Ibuk,</i> untuk “menghidupkan” sosok ayahnya lewat cinta ibunya dan ternyata cara itu berhasil. Perlahan-lahan Iwan mampu menyelesaikan cerita tersebut.
Bagi pembaca yang telah membaca novel <i>Ibuk,</i> ada perbedaan rasa saat membaca novel kedua Iwan ini. Di novel kedua ini, Iwan lebih luwes bertutur. Dialog-dialog ia tempatkan dengan baik. Juga yang menjadi catatan adalah kesederhanaan diksi yang disesuaikan dengan karakter ibu Iwan yang sederhana. Seperti diakui sendiri oleh Iwan, materi dasar novel ini sendiri sudah cukup kuat, sehingga ia tidak perlu menghadirkan bahasa yang berlebihan.<br />
<br />
<b>Ibu Sebagai Inspirasi</b><br />
<b> </b>Sebagai karya novel, cerita Iwan bermain cukup aman. Sejujurnya tidak ada riak yang menggelitik, karena sejatinya Iwan hanya ingin menghadirkan biografi ibunya sendiri yang ia kagumi. Namun tulisan Iwan ini sekali lagi berhasil menyampaikan pesan yang menginspirasi. Pesan dalam novel <i>Ibuk,</i> tersebut nyata jelas agar setiap pembaca mengingat kembali betapa baiknya setiap ibu dan untuk segera mencintai ibu tanpa perlu menunggu lagi.<br />
<br />
Lewat novel <i>Ibuk,</i> Iwan sekali lagi sanggup menginspirasi banyak orang dan kali ini, Iwan telah berhasil mengajak banyak pembaca novelnya untuk menjadikan ibu sebagai inspirasi hidup. Inilah nilai lebih Iwan yang perlu mendapat perhatian.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<b>Ibuk,</b><br />
karya Iwan Setyawan<br />
Terbit Juni 2012 oleh Gramedia Pustaka Utama<br />
ISBN: 9789792285680<br />
Binding: Paperback<br />
Tebal: 290 halaman<br />
Rating: 3/5<br />
<br />
<i>Telah dimuat di majalah VOICE+ Edisi September 2012, halaman 106-107</i><b> </b>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-55601949507378990992012-07-08T17:48:00.001-07:002012-07-08T20:57:33.853-07:00Menyelamatkan Warisan Budaya Visual Indonesia<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_X-hZbOLz7aPe8Xb6J1wlCCP0qLS_jX_o8VVBsFGWfRlhMEqkZUnYZ6_PHRMPD2oIqNtubOIbPInEeQZ8aDnz5m0kmAD6arUPPyAMqwIsFOEVGSPJnD7rn0JiuD5hmUjw2yX3gmmc7poj/s1600/AwSasCwCMAEu3uU.jpg_large.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_X-hZbOLz7aPe8Xb6J1wlCCP0qLS_jX_o8VVBsFGWfRlhMEqkZUnYZ6_PHRMPD2oIqNtubOIbPInEeQZ8aDnz5m0kmAD6arUPPyAMqwIsFOEVGSPJnD7rn0JiuD5hmUjw2yX3gmmc7poj/s320/AwSasCwCMAEu3uU.jpg_large.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Buku dan blog film Lewat Djam Malam</td></tr>
</tbody></table>
RESTORASI. Seketika kata itu menjadi magis di dunia film Indonesia. Tidak sedikit yang bertanya apa artinya, tetapi kurang lebihnya disimpulkan sebagai 'upaya penyelamatan'. Sebetulnya, restorasi sendiri bermakna mengembalikan ke kondisi semula, tetapi semua kita tahu film-film tua bermasalah banyak karena "vinegar syndrome".<br />
<br />
Ini persoalan yang tak muncul saat terjadi pergantian bahan film dari bahan film nitrat yang mudah sekali terbakar yang kemudian pada tahun 1948 digantikan dengan cellulose acetate film atau yang biasa disebut film aman. Tapi ternyata terminologi "aman" itu sendiri akhirnya disangsikan semenjak film-film yang menggunakan materi ini kemudian disimpan di tempat yang panas, lembab, akibatnya malah rusak parah. Laporan ini muncul pertama kali dari Pemerintah India, lalu kemudian studi digelar oleh laboratorium Kodak pada tahun 1960-an. Intinya, materi film ini kelak akan "membusuk" dan seperti bom waktu akan menghancurkan film itu sendiri.<br />
<br />
Inilah yang dilawan dengan upaya restorasi. Film-film klasik Indonesia, yang dibuat lampau, rentan terhadap "vinegar syndrome" ini dan karenanya sebuah upaya penyelamatan serius sebaiknya segera dilakukan. Yang pernah menonton film "Lewat Djam Malam" sebelum direstorasi pastilah ingat bagaimana film tersebut sudah buram, goyang, penuh goresan dan suaranya buruk. Tetapi setelah direstorasi, gambarnya menjadi demikian mulus, suara pun jernih, meski tidak 100% tanpa cacat.<br />
<br />
Buku berjudul "Lewat Djam Malam Diselamatkan" ini berisi upaya penyelamatan film terbaik karya Usmar Ismail yang berjudul "Lewat Djam Malam" atas kerja banyak orang (non-pemerintah). Seperti halnya film ini, yang produksi swasta, akhirnya orang-orang non-pemerintah yang menyelamatkannya juga. Film "Lewat Djam Malam" ini dibuat pada tahun 1954, produksi bersama dua perusahaan film swasta pribumi, Perfini yang diketuai oleh Usmar Ismail dan Persari yang diketuai oleh Djamaluddin Malik.<br />
<br />
Buku ini terdiri dari 3 bagian, setiap bagian berisi esai-esai dan catatan yang dengan jernih menceritakan bagaimana terpilihnya film ini untuk direstorasi, proses kerja restorasi itu sendiri, juga mengenai sutradara Usmar Ismail, dan terakhir mengenai Sinematek Indonesia yang sekarang ini menaungi film-film Indonesia.<span id="freeText18146012587194995723"> </span><br />
<br />
<span id="freeText18146012587194995723"></span><br />
<a name='more'></a><span id="freeText18146012587194995723">Terkait dengan "vinegar syndrome" tadi, ternyata film "Lewat Djam Malam" masih bisa selamat karena penyimpanan di Sinematek masih tersimpan di suhu yang baik dan jumlah reel lengkap. Permasalahannya hanya penanganan yang salah selama bertahun-tahun menyebabkan kondisi film menjadi memprihatinkan: gulungan pita seluloid melengkung dan menciut, ada bagian seluloid yang robek dan retak.</span><span id="freeText18146012587194995723"> </span><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCV2G9RG0AbyCfg2KiMecEpOmqtXXqnoTMmw6Ad9i4CunbLk9GtLsvHgIByFbgETLkdvYxxp_f8rcwr3xEG6IQUGvtfZRAkOERsvkgBpoltMNh9k1GUGjqPZRGXyKjm94bLscz85-288E/s320/547881_10150880178321267_699686754_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="147" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCV2G9RG0AbyCfg2KiMecEpOmqtXXqnoTMmw6Ad9i4CunbLk9GtLsvHgIByFbgETLkdvYxxp_f8rcwr3xEG6IQUGvtfZRAkOERsvkgBpoltMNh9k1GUGjqPZRGXyKjm94bLscz85-288E/s400/547881_10150880178321267_699686754_n.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sebelum dan sesudah restorasi</td></tr>
</tbody></table>
<span id="freeText18146012587194995723">Tentang proses restorasi dijelaskan dengan cukup sederhana oleh Davide Pozzi. Ia menjelaskan bagaimana L'Immagine Ritrovata di Italia sebagai laboratorium restorasi yang dipilih untuk melakukan restorasi "Lewat Djam Malam" melakukan tahap-tahap restorasi ini hingga pada akhirnya dihasilkan seluloid 35 mm yang baru dan paket format kamera digital. Davide Pozzi menyebut proyek ini sebagai proyek ambisius, salah satunya karena ia melihat nilai penting film ini bagi sinema nasional Indonesia. </span><span id="freeText18146012587194995723">Buku ini kemudian memuat foto-foto sebelum dan sesudah restorasi.</span><span id="freeText18146012587194995723"> </span><br />
<br />
<span id="freeText18146012587194995723">Artikel "Tidak Mudah Menjadi Indonesia" ditulis Totot Indrarto memberi gambaran arti penting Usmar Ismail dalam sejarah sinema Indonesia. Usmar Ismail memang baru lahir setelah merdeka, setengah abad setelah masuknya film di negeri ini oleh Hindia Belanda. Arti penting Usmar Ismail terletak dari niatnya untuk memproduksi film nasional, film yang Indonesia, yang pertama-tama dibuat bukan untuk kepentingan bisnis, tetapi dari niat mencitrakan Indonesia dalam pita-pita seluloid. Isu nasionalisme paling kental terasa di setiap filmnya dan benar seperti yang ditulis Totot Indrarto, Indonesia sudah beruntung memiliki Usmar Ismail yang meskipun hanya 10 tahun, sudah mampu memberikan fondasi seperti apa film Indonesia itu sebenarnya. Tentu saja, jauh dari kondisi film Indonesia saat ini yang penuh cerita pocong, hantu, dan selangkangan.</span><span id="freeText18146012587194995723"> </span><br />
<br />
<span id="freeText18146012587194995723">Artikel dari Lisabona Rahman cukup membuat semua kita yang membacanya terhenyak. Judulnya sendiri cukup menancap: "Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak?"</span> Ternyata meskipun hanya menyimpan 14% seluruh sejarah sinema Indonesia, Sinematek Indonesia menyimpan paling tidak 5 film anak bangsa yang masuk kategori " Memory of The World: national cinematic heritage". Itu berarti Sinematek Indonesia bertugas memangku ingatan bangsa yang demikian penting dalam pita-pita seluloid. Namun demikian pentingnya keberadaan Sinematek Indonesia tidak terlalu dianggap penting banyak orang, itulah sebabnya artikel ini mencoba memperlihatkan dan sekaligus menegur apakah generasi muda hanya pantas menonton film-film rusak yang berisi ingatan bangsa itu?<br />
<br />
Buku ini sendiri tidak menutup kisah pada sebuah sukses, tetapi menutupnya dengan sebuah tawaran, sebuah ajakan berskala luas, agar semua kita yang ingin turut menyelamatkan warisan budaya visual Indonesia ini bekerjasama bahu membahu menjadi sahabat-sahabat baru bagi Sinematek Indonesia. Sinematek Indonesia perlu didampingi Sahabat Sinematek, yang akan berjalan beriringan memperbaiki sistem dan terutama menyelamatkan satu persatu ingatan bangsa ini, seluloid demi seluloid agar kita tetap memiliki sejarah lengkap perjalanan bangsa ini yang memang tidak mudah.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<b>Lewat Djam Malam Diselamatkan</b><br />
karya JB Kristanto (Editor), Adrian Jonathan Pasaribu (Editor), Zhang Wenjie, Lintang Gitomartoyo , Totot Indrarto, Lisabona Rahman, Windu W Jusuf, Arie Kartikasari, Amalia Sekarjati, Lee Chor Lin, Davide Pozzi<br />
<span id="freeText8421828224242129480">Terbit Juni 2012 oleh Sahabat Sinematek<br />
ISBN: -</span><br />
<span id="freeText8421828224242129480">
Binding: Paperback<br />
Tebal: 118 halaman<br />
Rating: 5/5</span><br />
<br />
<br />
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-7441304145535868332012-02-13T03:15:00.000-08:002012-02-16T02:15:49.865-08:00Menyoal Ganja di Kehidupan Kita<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWYjs8LNx0hEvmTWCCIw1PBxLsNvCmoVspYWqKtncTxv63dghyojh12XnlMNmhXNqW08L0nIIJqUpvF4bW00mdA7EjO_s20fXYkjB7K8kg-NOIt9mkIXZAAWhwS3rK_aSGJGK3AERWjwgX/s1600/DAM0107.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWYjs8LNx0hEvmTWCCIw1PBxLsNvCmoVspYWqKtncTxv63dghyojh12XnlMNmhXNqW08L0nIIJqUpvF4bW00mdA7EjO_s20fXYkjB7K8kg-NOIt9mkIXZAAWhwS3rK_aSGJGK3AERWjwgX/s320/DAM0107.jpg" width="320" /></a></div>
ILEGAL, begitulah keberadaan ganja ke ruang-ruang privat kita. UU
Narkotika No. 35 tahun 2009 menetapkan ganja sebagai narkotika golongan
I, yang bersifat adiktif dan berbahaya bagi pemakainya. Di mata hukum,
dalam UU Narkotika No. 35 tahun 2009, ganja termasuk jenis narkotika
yang dilarang digunakan secara bebas, bahkan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan sekalipun (Pasal 8 ayat 1). Alasan yang sering kali dijadikan
landasan medis UU tersebut adalah kandungan <i>tetrahidrokanabinol</i> (THC)
yang menyebabkan pemakainya kecanduan dan merusak sel-sel otak hingga
tersiksa secara fisik. Di samping itu, disebabkan juga ganja mengandung
zat psikoaktif (zat memabukkan) yang bisa menghilangkan kesadaran akal
penggunanya. Di luar ranah hukum, ganja diilegalkan karena sifatnya yang
memabukkan itu sebagai tindakan yang amoral. Bahkan ada upaya keras
dari kelompok dan organisasi, baik sipil maupun keagamaan, untuk
melakukan 'perang suci' terhadap tumbuhan yang bernama latin <i>Cannabis
Sativa </i>ini. Apa sebenarnya salah tanaman ganja ini?
<br />
<br />
Dalam pengantar buku ini, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, seorang
spiritualis dan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, memberi
pandangan berbeda dari sudut pandang agama. “Tiada ciptaan Tuhan yang
sia-sia, termasuk pohon ganja,” tulisnya merujuk pada kitab suci Surah
Asy-Syu’ara’ ayat 7 yang berbunyi: "Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu
pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik." Dalam pengantar pendeknya
itu, ia memberi pembenaran dan pembelaan kepada tanaman ganja dari
tuduhan selama ini. Tuduhan ini kemudian dinamai oleh penyusun buku ini
sebagai proses kriminalisasi pada ganja, sesuatu yang justru merugikan
masyarakat Indonesia sendiri pada akhirnya.
<br />
<br />
<a name='more'></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKcFEEBZum7x5-vtB2IJL_6nnpDElufuz1lUcCfsEpiYdMChBm3xCQ9KHdo5WZiotLn2aJ8Gqzv6jZmvNdlxlTA6EJWaVkiADcWRPo9eSXe_DIc1gofsrTeGLC5brjbVmgduVWmW09dvhR/s1600/Nature-Illegal-338x253.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="238" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKcFEEBZum7x5-vtB2IJL_6nnpDElufuz1lUcCfsEpiYdMChBm3xCQ9KHdo5WZiotLn2aJ8Gqzv6jZmvNdlxlTA6EJWaVkiADcWRPo9eSXe_DIc1gofsrTeGLC5brjbVmgduVWmW09dvhR/s320/Nature-Illegal-338x253.jpg" width="320" /></a>Mengapa bisa demikian? Tim dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN) sebagai
penyusun buku ini membangun argumentasinya lewat narasi sejarah yang
merentang panjang sejak 12.000 tahun lampau. Bahwa sejatinya, tanaman
ganja memiliki hubungan baik dengan masyarakat mulai dari Asia, Afrika,
Eropa, Amerika, serta sejak masyarakat Sumeria, Mesir Kuno, Jepang,
hingga masyarakat Aceh. Hubungan baik itu tercitra dalam berbagai macam
hal.
<br />
<br />
Yang utama, eratnya hubungan ganja dengan kesehatan (<i>materia
medica</i>). Minyak dari biji ganja terbukti obat yang ampuh untuk mengobati
sakit telinga (di zaman Mesir Kuno), sakit kulit, menyembuhkan keseleo,
patah tulang dan pengeroposan tulang (di masyarakat Aceh) hingga
menyembuhkan kanker kulit. Penyakit Alzheimer yang menyerang orang di
atas usia 50 tahun dengan tanda-tanda melemahnya memori otak lalu
diikuti lumpuhnya olah pikir dan berbicara, ternyata dapat diobati
dengan enzim yang ada pada tanaman ganja. Rabun senja karena penyempitan
pembuluh darah, dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi ganja karena
mengisap ganja akan memperlebar pembuluh darah di mata. Bukti-bukti
medis ini, dibeberkan lewat pencantuman sumber buku dan sejarah, sekali
lagi untuk membuktikan bahwa khasiat medisnya bukanlah isapan jempol.
<br />
<br />
Hubungan baik dengan masyarakat kedua yang menjadi bukti adalah
menyangkut serat yang bisa dihasilkan oleh pohon ganja. Manfaat yang ini
memiliki bukti yang hidup sampai sekarang di masyarakat Jepang.
Pakaian, tali tambang kapal, tambang tali, kertas, pada zamannya
menggunakan tanaman ganja.
<br />
<br />
Dalam buku ini coba dibuktikan bahwa salinan-salinan kitab suci
sekalipun, dalam masyarakat Turki-Ottoman, ditulis di lembaran kertas
berbahan ganja. Bahkan kertas yang digunakan sebagai lembaran
<i>Declaration of Independence</i> masyarakat Amerika juga terbuat dari serat
ganja.
<br />
<br />
Hubungan baik lain adalah berkaitan dengan spiritualitas. Ganja
dipersepsi sebagai tanaman suci, yang bahkan dalam masyarakat Mesir
Kuno, ganja merupakan lambang dari dewi ilmu pengetahuan. Bukti-bukti
dalam ritual keagamaan lain juga ditunjukkan lewat serangkaian fakta
yang tidak diragukan sumbernya.
<br />
<br />
Lalu mengapa terjadi semacam pembalikkan atas situasi ini? Tim LGN
menuding hal ini sebagai bagian dari konspirasi. Di bagian kajian
ekonomi politik tanaman ganja dibeberkan bahwa proses kriminalisasi ini
berawal dari sejumlah keputusan bisnis/industri.
<br />
<br />
Dua manfaat dari tanaman ganja yakni minyak nabati dari biji, serta
serat kuat dari batangnya merupakan sumbernya. Pada tahun 1930, Amerika
sedang dilanda krisis ekonomi, lalu timbullah pemikiran, bagaimana
mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk menyembuhkan krisis. Lalu
keluarlah ide untuk memonopoli pasar industri tekstil.
<br />
<br />
Langkah pertama, membuat dan memperbanyak industri serat sintesis
(terkenal sebagai DuPont) di penjuru Amerika. Kedua, membuat
undang-undang pelarangan ganja (<i>Marijuana Tax Act</i>) pada tahun 1937.
Maksudnya dilarang ditanam apalagi digunakan sebagai serat maupun obat.
Ketiga, UU pelarangan itu kemudian dipropaganda melalui tangan PBB agar
seluruh anggotanya menerapkan UU tersebut. Itu berarti ada maksud
tersembunyi di balik propaganda tersebut agar negara-negara anggota PBB
tidak memproduksi serat alami dari ganja, melainkan hanya membeli serat
sintesis dari Amerika.
<br />
<br />
Kajian hukum atas <i>Marijuana Tax Act</i> ini kemudian yang berentet
melahirkan merebaknya undang-undang kriminalisasi pada ganja di banyak
negara. Namun, di Amerika sendiri, pada saat ini sedang berlangsung
upaya menghapus Marijuana Tax Act atas dasar akan menghilangkan konflik
yang terjadi antara hukum federal dan peraturan hukum di keenambelas
negara bagian di AS yang telah melegalkan penggunaan ganja secara
terbatas di bawah pengawasan dokter. Ini juga akan memungkinkan
pemerintah negara bagian yang ingin melegalkan dan mengatur sepenuhnya
penggunaan ganja. Dalam hal ini pemerintah negara bagian dapat mengatur
kepemilikan, produksi dan distribusi ganja untuk orang dewasa tanpa
campur tangan pemerintah federal. Sampai hari ini, perjuangan legalisasi
belum final.
<br />
<br />
Tampilan sampul buku ini seharusnya bisa lebih menarik lagi. Papan
tulis dan kapur terlalu menyederhanakan isinya. Mengenai isinya, dua
pertiga buku ini berisi kajian sosio-historis hubungan baik antara ganja
dan masyarakat, sedang sepertiga sisanya dibagi dua untuk manfaat medis
dan persoalan ekonomi politik di balik pelarangan ganja di dunia, yang
dimotori oleh Amerika Serikat. Ditulis dengan bahasa yang formal, tidak
tendensius, para penyusun tidak tergoda untuk membalas dengan
menggunakan bahasa yang meletup. Semua informasi ditulis dengan bukti
dan sumber yang memadai. Nyaris seperti penulisan tesis ilmiah.
<br />
<br />
Terus terang dari sisi pembaca, buku ini menyajikan informasi yang
langka dan jarang ditemui berkaitan dengan hal positif mengenai ganja.
Sesuatu yang tertutupi selama ini oleh berbagai tuduhan yang tebal
seperti kabut. Ia membuka borok di dalam kampanye anti ganja. Akan
tetapi selepas membaca, buku ini justru akan melahirkan banyak
pertanyaan. Ia menciptakan gegar pada '<i>status quo</i>' yang bila tidak
digunakan secara benar oleh motivasi baik di balik upaya melegalkan
ganja, justru akan disalahtafsirkan oleh banyak pihak.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<b>Hikayat Pohon Ganja: 12.000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia</b><br />
karya Tim Lingkar Ganja Nasional (LGN)<br />
<span id="freeText8421828224242129480">Terbit Desember 2011 oleh Gramedia Pustaka Utama<br />
ISBN: </span>9789792277272<br />
<span id="freeText8421828224242129480">
Binding: Paperback<br />
Tebal: 386 halaman<br />
Rating: 2/5</span><br />
<br />
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-51526821554971302472012-01-06T00:39:00.001-08:002012-02-16T02:17:50.025-08:00Kegelisahan Pandji Atas Indonesia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP6Znru95_3A72Fk7jRghyphenhyphenvw1W9MNJgX9Xlzeq4uSOn41DaVMUToOEiPU26PF8KzdKUXM1VmTDLcuCL3xH0cdLHU892L1KuatrPyDHUwM-vTW3tuF-gmey5nme6uTcgriZVk6m08VqJa4X/s1600/IMG_9625.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="239" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgP6Znru95_3A72Fk7jRghyphenhyphenvw1W9MNJgX9Xlzeq4uSOn41DaVMUToOEiPU26PF8KzdKUXM1VmTDLcuCL3xH0cdLHU892L1KuatrPyDHUwM-vTW3tuF-gmey5nme6uTcgriZVk6m08VqJa4X/s320/IMG_9625.JPG" width="320" /></a></div>
GELISAH. Atau anak muda sekarang menamakannya galau. Serupa saja. Dua-duanya memiliki arti yang sama. Tinggal bagaimana cara memandangnya. Kaum pesimis akan mengatakan gelisah itu ibarat mendung hitam gelap pekat yang merupakan awal dari kiamat yang kelak akan datang, sedang kaum optimis akan mengatakan gelisah itu adalah sebuah "pertanda" saatnya melakukan sesuatu untuk mengatasi kegelisahan.<br />
<br />
Umumnya kegelisahan itu wajar. Yang menjadikannya tidak wajar adalah bila selama bertahun-tahun gelisah terus. Barangkali karena terus-menerus gelisah itu, banyak dari yang tadinya gelisah kemudian apatis. Dan apa yang digelisahkan bisa apa saja. Namun dalam buku ini, yang dikisahkan oleh Pandji Pragiwaksono adalah kegelisahan yang melanda bangsa Indonesia ini. Kegelisahan ini akut sifatnya dan sudah menahun. Dibiarkan saja tanpa solusi. Disuarakan berkali-kali dengan nada miring (satir), semisal penyair Taufiq Ismail menulis sajak <span class="st"><i><i>Malu Aku</i> Jadi Orang Indonesia </i>(1998), lalu menyusul </span>pengamat politik Eep Saefulloh Fatah mengutarakannya hal serupa dengan menulis buku <i>Bangsaku yang Menyebalkan.</i><br />
<br />
Kemudian sepuluh tahun sejak reformasi, kegelisahan ini muncul kembali, tapi kali ini dengan semangat yang berbeda. Bukan satir lagi. Mulai reflektif. Mulai mendalam dengan semangat kritis oleh para penulis anonim yang menelurkan buku <i>Kopi Merah Putih</i>. Pertanyaan-pertanyaan khas kelas menengah yang menyuarakan bahwa Indonesia bisa lebih baik lagi sekarang. Dan berselang dua-tiga tahun berikutnya lahirlah buku yang ditulis Pandji Pragiwaksono ini. Awalnya beredar di internet sebagai bu-el (ebook) tetapi kemudian lewat kesepakatan dengan Bentang, buku ini naik ke mesin cetak. Kesepakatannya sederhana, setiap satu buku yang terjual, penerbit berjanji akan mendistribusikan satu buku gratis ke pelosok daerah.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqeZlaCNuhpv_JL-DPf1Rs-mmpa8dSPj6BWN-0azNreGrJzJy85FXjyArpMybCK6OKHxFNwTKwKUutuxcj4yJYTmSaC1O6ozvcGGEgb-cmivtw9XfFBQUwU8j1HFsftUUNF51sX-LV1HLD/s1600/photo+2.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqeZlaCNuhpv_JL-DPf1Rs-mmpa8dSPj6BWN-0azNreGrJzJy85FXjyArpMybCK6OKHxFNwTKwKUutuxcj4yJYTmSaC1O6ozvcGGEgb-cmivtw9XfFBQUwU8j1HFsftUUNF51sX-LV1HLD/s320/photo+2.JPG" width="320" /></a></div>
Apa isi buku ini? Banyak pembaca memasukkannya ke dalam buku motivasi. Tetapi bila ditelaah dalam kajian Teori Tindakan Sosial, buku ini bukan buku motivasi <i>an sich.</i> Buku ini memuat gagasan bagaimana kita menyikapi situasi saat ini, di tengah kehidupan yang dirundung kegelisahan akibat banyaknya ketidakjelasan. Buku ini mencoba menyikapi mengapa orang muda kebanyakan memilih tinggal di luar negeri yang sebetulnya bila dipikir-pikir akan sama susahnya dengan tinggal di Jakarta? Juga menyikapi persoalan perbedaan-perbedaan di dalam bangsa yang berujung bukan pada persatuan dari sekian banyak perbedaan, tetapi pemaksaan penyatuan. Buku ini memperlihatkan sikap optimis penulisnya yang memilih daripada murung menyesali menjadi orang Indonesia, ia memilih untuk bersikap ksatria, memperbaiki Indonesia yang kacau-balau ini dengan segenap kemampuannya. Heroik? Sepertinya tidak. Masih dalam batas kewajaran. Dan yang menarik bahwa sikap optimis ini bisa ditiru, diduplikasi oleh pembaca-pembacanya.<br />
<br />
Bagaimana gagasan-gagasan di dalam buku ini dituliskan? Harus jujur dikatakan, ditulis dengan ringan dan santai (slengeean adalah kata yang lebih tepat) namun karena ditulis dengan demikian tulisannya tidak dalam, tidak lugas mengutarakan apa yang harus dilakukan. Baru sebatas pada memberi wacana karena sepertinya ini yang juga belum dilakukan banyak orang. Sudah banyak yang mencerca, mengkritik, tetapi belum ada yang keluar dengan gagasan memperbaiki. Tindakan sosial yang diharapkan penulis untuk sama-sama juga dilakukan oleh para pembaca belum memberi "cetak biru" bagaimana tindakan perbaikan ini dapat dilakukan, semua serba terpecah belum utuh.<br />
<br />
Pertanyaan yang sederhana untuk mengujinya adalah apa Action Plan yang dapat ditawarkan oleh penulis? Jika jawabannya adalah "kembali ke pribadi masing-masing", publik luas membutuhkan jawaban: ini daftar yang bisa dilakukan, apa saja yang harus diraih, dan bagaimana mencapainya. Namun membebani semuanya kepada Pandji adalah hal yang berlebihan. Butuh sekian banyak Pandji-Pandji untuk bisa duduk bersama menyusun Action Plan berikutnya. Mungkin benihnya dari para pembaca buku ini.<br />
<br />
Sekarang penilaian akhir atas buku ini: sebetulnya dari cara eksekusi ide dan teknik biasa saja, terlalu berlebihan jika dikatakan buku ini gilang gemilang bagusnya. Yang menjadikannya luar biasa sebetulnya figur Pandji Pragiwaksono sendiri. Ia mewakili generasi muda yang berlawanan dengan generasi Taufiq hingga Eep yang pesimistis, justru memperlihatkan optimisme atas nasib bangsa ini yang pasti akan keluar dari kegelisahannya yang menahun.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<b><span id="freeText8421828224242129480">Nasional.is.me </span></b><br />
<span id="freeText8421828224242129480">karya Pandji Pragiwaksono<br />
Terbit 2011 oleh Bentang Pustaka<br />
ISBN: 9786028811538<br />
Binding: Paperback<br />
Tebal: 330 halaman<br />
Rating: 2/5</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02926188754245355041noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-91639803877175587642011-11-30T03:38:00.000-08:002012-01-06T01:44:09.359-08:00Simbah Sepeda Yang Dicari-Cari<span class="readable reviewText"><span id="freeTextreview184548435"> SUKA sepeda fixie? Sepeda lipat? MTB? BMX? Sepeda mini? Baiklah, sebaiknya membungkuk beri hormat pada simbahnya sepeda: Pit Onthel.<br />
<br />
</span></span><span class="readable reviewText"><span id="freeTextreview184548435">Simbah sepeda, yang disebut pit onthel ini punya riwayat yang lebih agung daripada jadi sekedar ojek sepeda di Stasiun Beos Kota. Paling tidak, dari dua generasi di atasku, membicarakan pit onthel ini seperti membicarakan sebuah kejayaan masa lampau yang tak lekang waktu. Di zaman ibuku sekolah misalnya, mereka yang naik pit onthel kena pajak sepeda. Betul! Ada pajaknya... barangkali terdengar aneh, tapi itu betul nyata terjadi tahun 1950-an.<br />
<br />
</span></span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="readable reviewText"><span id="freeTextreview184548435"><span class="readable reviewText"><span id="freeTextreview184548435"><img class="escapedImg" src="http://assets.kompas.com/data/photo/2011/07/13/1448565620X310.JPG" width="300" /></span></span></span></span><br />
<span class="readable reviewText"><span id="freeTextreview184548435"><span class="readable reviewText"><span id="freeTextreview184548435"><i>Sepeda onthel merek Union Simply Bike tahun 1899 asal Amerika Serikat disinyalir sebagai Pit Onthel tertua di Indonesia.</i></span></span> (Sumber: kompas.com)</span></span></div><span class="readable reviewText"><span id="freeTextreview184548435"><br />
<br />
Pit Onthel ini merevolusi moda transportasi. Yang dulunya bersandar pada angkutan di atas hewan, dengan adanya pit onthel, semua bisa diangkut tanpa perlu memberi makan/minum pada alat angkutnya. Tak sulit membayangkan bagaimana pit onthel ini dengan cepat menggantikan moda transportasi tradisional. Ada warna modernisasi yang menyemburat di balik mereka yang menggunakan pit onthel.<br />
<br />
</span></span><span class="st">Lewat buku yang dikembangkan dari </span><span id="freeText8421828224242129480">katalog yang pernah diterbitkan Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Pit Onthel </span><span class="st">atau juga terkadang disebut sebagai sepeda unta, sepeda kebo, atau <i>pit</i> pancal, dikupas satu persatu. Mulai dari semua </span>merek Pit Onthel yang ada di Indonesia <b style="font-weight: normal;">Simplek</b>, <b style="font-weight: normal;">Triumph</b>, <b style="font-weight: normal;">Gazelle</b>, dan lain-lain, masing-masing dilengkapi penjelasan sejarah perusahaan dan gambar merek itu. Juga ada gambar sepeda onthel dari berbagai merek yang masih eksis, yang merupakan koleksi para pecinta sepeda onthel.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKaaHRpRuhn6lja_Sc5BYpCg1VPTbzE58BfVqBaHE423sjoSbqb7mgpmOKOzIWG3r8WzeizRIvUzzMpi0nUtVar4JdFoxrs97rD4UTolPdVHR996h7St6PgQkF6nmCwBjYBoAG9Brz2Wu3/s1600/x2_74d7d17.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5680756187244666514" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKaaHRpRuhn6lja_Sc5BYpCg1VPTbzE58BfVqBaHE423sjoSbqb7mgpmOKOzIWG3r8WzeizRIvUzzMpi0nUtVar4JdFoxrs97rD4UTolPdVHR996h7St6PgQkF6nmCwBjYBoAG9Brz2Wu3/s320/x2_74d7d17.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; float: left; height: 240px; margin: 0 10px 10px 0; width: 320px;" /></a>Dalam buku ini, juga ada gambar macam-macam aksesoris pit onthel, mulai dari lampu lilin sampai lampu berko. Mulai dari tutup rantai, sampai rem tangan, dan lain sebagainya. Juga ada gambar iklan-iklan sepeda onthel zaman dulu kala. Selain itu, di buku itu juga ada artikel mengenai sejarah singkat sepeda beserta ilustrasinya. Ada juga cerita pendek tempo dulu soal sepeda, dan cerita atau kisah seorang mantan polisi dengan sepeda onthel kesayangannya.<br />
<br />
Buku ini sebenarnya merefleksikan kekuatan pit onthel sebagai penanda zaman yang tak pudar. Kehadirannya mulai milenium berganti bahkan dicari-cari bukan karena nilai klasiknya, tetapi juga karena banyak orang telah gusar dengan kondisi lingkungan yang kian buruk akibat moda transportasi baru yang boros dan tidak ramah pada alam.<br />
<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span id="freeText8421828224242129480"><span style="font-weight: bold;">Pit Onthel (Seri Lawasan #1)</span><br />
karya Bentara Budaya (Tim Penyusun)<br />
Terbit Juli 2011 oleh Kepustakaan Populer Gramedia<br />
ISBN: 9789799103420<br />
Binding: Paperback<br />
Tebal: 190 halaman<br />
Rating: 4/5<br />
</span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-33004916012996733612011-09-28T03:57:00.001-07:002012-01-06T01:44:41.979-08:00Hikayat Pengeliling Indonesia<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBOSLbxAYW9-w522AiA32nbwhpXcZ8gfgYyAGX798YTCYvX2VEjnUuNJQmyePbgEWzOQVVAoDBKTT_Bh8jGHZCr86-GkrLB05M9vX-2fNKWSQp8gMnmlvcJGw2ESQxxGYQnW7dGUIZ6mxb/s1600/x2_7657f1a.jpg"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5663301722661960786" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBOSLbxAYW9-w522AiA32nbwhpXcZ8gfgYyAGX798YTCYvX2VEjnUuNJQmyePbgEWzOQVVAoDBKTT_Bh8jGHZCr86-GkrLB05M9vX-2fNKWSQp8gMnmlvcJGw2ESQxxGYQnW7dGUIZ6mxb/s320/x2_7657f1a.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; float: right; height: 240px; margin: 0 10px 10px 0; width: 320px;" /></a>SEBAGAI pembaca, saya sudah menunggu lama munculnya buku seperti ini. Buku tentang Indonesia yang dituliskan demikian apa adanya oleh seorang penulis sekaligus petualang (travel writer). Buku yang tidak melulu melihat Indonesia sebagai obyek, tetapi sebagai subyek yang hidup. Buku yang bicara mengenai manusianya, sekaligus juga bagaimana manusia itu berinteraksi dengan alamnya.<br />
<br />
Syahdan, diujarkan pada saya sebuah keprihatinan yang kemudian saya amini benar kejujurannya bahwa setiap kali kita bicara tentang Indonesia, kita selalu bicara tentang Indonesia yang sedemikian besar, terutama kekayaan alamnya, tetapi di sisi lain kita disodorkan pada fakta bahwa demikian kerdil manusia-manusia Indonesianya.<br />
<br />
Begitu sempit kita memaknai Indonesia. Serba sepotong. Indonesia dari mereka yang Islam. Indonesia dari mereka yang sosialis. Indonesia dari mereka yang berbisnis. Sosok Indonesia yang begitu luas dipahami oleh Soekarno di bawah pohon di Ende, Flores, tempat ia dibuang oleh penjajah Hindia-Belanda, seolah pudar. Indonesia yang toleran itu dan seolah adil dan beradab, pada akhirnya disodorkan dengan vulgar justru berkebalikan. Situasi yang gelap, yang seringkali kita hindari dan berlindung di balik dusta-dusta atas realita sosial.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Tetapi buku ini mengembalikan porsi Indonesia pada gagasan awal Soekarno itu. Dengan menawarkan sebuah gerakan untuk meraba, gerakan yang biasanya efektif digunakan bilamana kita berada dalam lorong gelap, membiarkan syaraf sensitif pada jemari menemukan apakah sebenarnya Indonesia itu, siapakah Indonesia itu, dan lebih menarik lagi, dikisahkan bukan dari tokoh-tokoh publik, melainkan dari mereka yang sehari-hari justru mempertanyakan dimanakah Indonesia, mereka yang hidup di garis terdepan (atau dikatakan dengan sumir, ada di garis terluar dari Jawa).<br />
<br />
Maka dikisahkan sebuah hikayat yang berbeda dari cerita mainstream kebanyakan tentang Indonesia. Hikayat yang justru bercerita tentang lautan begitu indah hancur karena penambangan karang. Hikayat yang bercerita istri-istri penyelam yang hidupnya semakin berat karena suaminya meninggal karena terbiasa menyelam menggunakan kompresor -- sehingga disebut janda kompresor -- hanya karena ketidakmampuan menyediakan peralatan selam yang aman. Hikayat yang bercerita sungai terlebar di Kalimantan kering kerontang sehingga tersedia gratis lapangan sepakbola yang demikian luasnya untuk masyarakat. Hikayat yang diceritakan dengan pedih, misalnya tentang pembantaian juga terjadi di Flores, basis warga Katolik, pada orang-orang yang dituduhkan komunis pasca 65.<br />
<br />
<blockquote>Simak Kupasan Buku "Meraba Indonesia" dalam video ini:<br />
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="http://www.youtube.com/embed/iQ97PSuMcgc" width="420"></iframe></blockquote><br />
<br />
Hikayat ini dituturkan dari seorang jurnalis muda yang turut dalam petualangan mengelilingi Indonesia menggunakan sepeda motor. Bukan motor besar, tapi motor jenis bebek yang dimodifikasi sedikit. Hikayat dari pengeliling Indonesia yang bernama Ahmad Yunus. Bersama Farid Gaban, mereka mengelana membawa bendera Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Semula hanya untuk memotret dan mendokumentasikan tempat-tempat di Indonesia, tetapi di awal perjalanan, Ahmad Yunus mengaku tersadar bahwa ia harus menulis. Ia harus memaparkan apa yang ditemuinya selama perjalanan yang menghabiskan waktu hampir selama setahun dalam hidupnya.<br />
<br />
Ia berjalan ke banyak tempat, sekaligus menulis, mengambil gambar, memikirkan hendak dijadikan apa semua bahan yang telah dikumpulkan ini nantinya. Ia tidak pertama-tama berpikir akan menjadi seorang penulis pengelana terkenal. Ia menulis terutama karena ada kebutuhan untuk menceritakan hikayat manusia-manusia Indonesia yang ditemuinya di pulau-pulau di garis depan Indonesia, membeberkan kisah hidup mereka, mencoba mengetuk mata hati pembaca dan menyodorkan secara gamblang: inilah Indonesia yang sesungguhnya. Indonesia bukan sekedar Jakarta dan kompleksitasnya.<br />
<br />
Buku ini penting untuk dibaca, sehingga saya sebagai pembaca merasa perlu untuk merekomendasikannya kepada pembaca lain. Memang bila dibandingkan dengan teknik menulis perjalanan yang dikuasai penulis muda lain, tampak benar tulisan Ahmad Yunus masih terlalu linier, kronologis, di permukaan, dan kurang figuratif, juga kecerobohan penulis dan penerbit untuk membiarkan kesalahan cetak yang demikian banyak, akan tetapi di balik semua itu, siapapun pasti akan bersepakat dengan saya, betapa buku ini mempresentasikan Indonesia terkini sekaligus kepedulian untuk membangun Indonesia yang lebih baik dengan cara yang inspiratif.<br />
<br />
Bila perlu, penulis bisa menulis ulang kembali bahan-bahan yang demikian banyak yang berhasil dikumpulkannya, disebutkan sekitar 10.000 frame foto, 70 jam durasi video, dan ratusan lembar catatan perjalanan, dengan teknik menulis yang lebih memikat, maka dapat saya angankan buku ini nantinya pantas diunggulkan sebagai buku travel writing tentang Indonesia terbaik sepanjang masa.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<b>Meraba Indonesia: Ekspedisi "Gila" Keliling Nusantara</b><br />
karya Ahmad Yunus<br />
Terbit Juli 2011 oleh Penerbit Serambi<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 9789790242852<br />
Tebal: 372 halaman<br />
Disertai video dan foto perjalanan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa<br />
Rating: 3/5Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-53204049142631016182011-07-20T08:36:00.000-07:002012-07-08T21:03:05.933-07:00Srimulat dalam Pergulatan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiw-FT-TxE1tsrAGGrVfzRCjn0zPIWyQVtzVzo-3XC2YjrHQMLfRx4CXzLhQ3h2_IvM7eB2lkkUYJ1406ogq8j-u0xhLe1M9_G8NEwJOV7sNoeNlXE9gsb5RP074_2GvqxxOHbP1UiOgGl/s1600/15102011%2528001%2529.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5678862689409561874" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiw-FT-TxE1tsrAGGrVfzRCjn0zPIWyQVtzVzo-3XC2YjrHQMLfRx4CXzLhQ3h2_IvM7eB2lkkUYJ1406ogq8j-u0xhLe1M9_G8NEwJOV7sNoeNlXE9gsb5RP074_2GvqxxOHbP1UiOgGl/s320/15102011%2528001%2529.jpg" style="float: left; height: 240px; margin-bottom: 10px; margin-left: 0px; margin-right: 10px; margin-top: 0px; width: 320px;" /></a>DALAM lanskap bangsa terkini yang di dalamnya terjadi tarik-menarik kekuatan ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Indonesia yang disertai ketegangan penuh kontradiksi antara yang tulus dan munafik, yang jujur dengan pembohong, kasus Manohara, pembunuhan Nasruddin yang melibatkan Ketua KPK Antasari Ashar, flu babi, manuver partai-partai menjelang pemilu presiden Juli 2009 nanti, kebutuhan akan lawakan dan humor sudah barang tentu menjadi niscaya. Sebagai bangsa, kita betul-betul butuh lawakan dan humor. Bahkan boleh kita amini pernyataan seorang filsuf Barat bernama Immanuel Kant yang mengatakan lawakan atau humor dapat mencairkan manusia dari ketegangan. Karena lawakan dan humor akan menghadirkan senyum di wajah rakyat dan bukan tidak mungkin menghasilkan tawa terbahak-bahak karena gembira.<br />
<br />
Dulu kita punya barisan pelawak yang humoris. Sebut saja Srimulat, Warkop DKI (dulu Warkop Prambors), Bagito, dan lainnya. Tekanan hidup akibat Orde Baru hingga krisis 1997 menemukan titik perimbangannya dengan kehadiran lawakan yang segar. Pada masa itu, kita bahkan menyebutnya "obat stress". Tapi sayang kini tinggal sejarah. Warkop, sepeninggal Dono dan Kasino, praktis tidak ada lagi. Bagito pun bubar karena habis. Miing Bagito tampaknya lebih sibuk ingin jadi caleg DPR RI suatu partai untuk daerah pemilihan Banten. Srimulat yang disebut pertama, rontok karena banyak pelawak yang bergabung di dalamnya meninggal: Asmuni, Basuki, hingga yang terakhir Timbul, menyusul para penggagasnya Teguh dan istrinya Raden Ajeng Srimulat, putri wedana Bekonang, Solo.<br />
<br />
<a name='more'></a>Apakah dengan demikian kita dilanda krisis lawak? Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Quo Vadis Lawak Indonesia” yang diadakan oleh Jojoncenter Dokumentasi Komedi Indonesia dan Yayasan Umar Kayam 16 Januari 2009 silam, pertanyaan-pertanyaan seputar masa depan lawak di Indonesia mengemuka dan coba dijawab. Hasilnya dituliskan oleh Sholahuddin demikian: Di Indonesia, seni lawak masih sering dianggap sebelah mata jika dibandingkan dengan kesenian-kesenian lain. Pertunjukan lawak belum mendapat apresiasi yang positif selain hanya sebagai pengisi waktu luang. Begitupun dengan para pelawak. Mereka tidak ubahnya seperti badut yang pamer kekonyolan tanpa muatan lawakan yang bisa membawa pesan.<br />
<br />
Hasil diskusi itu ternyata memang sebangun dengan apa yang pernah ditulis Jay Sankey dalam bukunya "Zen and The Art of Stand-Up Comedy" (1998): “Tidak seorang pun sengaja memilih menjalani hidup sebagai komedian. Jalan hidup satu ini begitu sulit dan saat ini juga tidak setimpal penghargaannya. Sehingga hanya mereka saja yang sengaja menerjuninya, yaitu mereka yang tidak hanya semata-mata ingin terjun ke dalamnya tetapi dilatarbelakangi alasan dirinya harus menerjuninya.” Artinya, mereka yang menjalani hidup sebagai komedian atau pelawak akan senantiasa menghadapi perkara yang sama seperti hasil FGD itu sampai kapanpun.<br />
<br />
Namun meskipun berat seperti itu, toh terdengar kabar juga padaku dari kota Surabaya sebagai salah satu pabrik tawa Srimulat. Srimulat akan muncul kembali! Kali ini mengusung nama Srimulat Manggung Keliling (SMK) dimotori oleh Bambang Gentolet. Malah sebetulnya sejak Maret 2008, mereka berusaha comeback memakai nama Srimulat Reinkarnasi. Mereka kembali berusaha menghidupkan gelak tawa di Taman Hiburan Rakyat Surabaya, tempat yang menjadi simbol kebesaran grup lawak itu. Namun, perjuangan tersebut seakan kembali tak berarti. Kursi penonton berangsur-angsur sepi. Beberapa pelawak pun akhirnya tetap hidup mendua. Mencari pekerjaan lain di luar panggung Srimulat tersebut alias "Lin C", istilah mereka untuk cari orderan dari tempat lain.<br />
<br />
Lain dengan Srimulat Reinkarnasi yang loyo, Srimulat Manggung Keliling justru mendapat respon luar biasa. Penampilan mereka di Surabaya bulan Maret 2009 lalu dengan lakon "Batu Ajaib" mampu membuat penonton enggan beranjak meski gerimis mengguyur. Lakon yang memparodikan keajaiban Ponari, anak kecil yang mampu menyembuhkan tanpa obat, disambut dengan riuh rendah tepukan penonton. Pertanyaannya 'akankah Srimulat mampu bangkit lagi kali ini' segera muncul di kepala.<br />
<br />
Pertanyaan itu sebenarnya bagian kecil dari harapanku sendiri yang begitu besar agar Srimulat tetap meramaikan dunia lawak Indonesia. Aku bukannya tidak suka pada jenis lawakan ala Extravaganza, para jebolan API yang lahir dan dibesarkan televisi, atau bergenre Project Pop dan Timlo dengan memarodikan lagu-lagu. Bukan itu, tetapi karena mungkin benar yang disebut-sebut Anwari dalam buku "Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur" (1999) bahwa dalam diriku yang secara sosiologis sudah dapat dikatakan mahluk urban tapi ternyata di dalamnya masih menyimpan semangat-semangat romantisme tradisional. Masih menggilai dagelan bahasa ibu, cerita kerajaan, lagu-lagu dan tarian-tariannya.<br />
<br />
Memang, Srimulat tak bisa dipisahkan dari kosmologi yang melingkupinya: Jawa. Baik secara antropologis maupun kultural historis, Srimulat adalah subkultur dari kosmologi Jawa yang begitu luas. Dengan bahan yang luar biasa melimpah, Anwari memberi pembuktian yang sulit untuk dibantah bahwa Srimulat erat berkaitan dengan kesenian-kesenian tradisional yang lebih dulu hadir di ranah Jawa. Yang ia maksud adalah kesenian wayang orang, ludruk dan ketoprak. Kesenian-kesenian inilah yang menjadi induk bagi lahirnya kesenian baru yang dinamakan dagelan. Bahkan secara historis, baru aku tahu bahwa lawak/dagelan yang kita kenal justru baru muncul di awal abad ke-20, tepatnya tercetus tahun 1925 oleh Ki Jayeng Gedung alias Ki Gunopradonggo. Saat pergantian set/babak wayang orang atau ketoprak yang memakan waktu, akhirnya tercetus untuk membuat suatu pementasan yang pendek dan bertujuan melulu menghibur penonton agar tidak bete melihat kegiatan pergantian set itu. Maka lahirlah kemudian yang disebut Dagelan Mataram. Dagelan Mataram sebagai sebuah genre komedi muncul sekitar tahun 1930-an. Dagelan Mataram inilah yang kemudian ditiru dan dikembangkan oleh Srimulat dan para penerusnya.<br />
<br />
Adalah Teguh dan istrinya RA Srimulat yang mengubah dagelan yang tadinya hanya sebentar dan sekedar pelengkap pertunjukkan tari dan menyanyi hingga akhirnya justru menjadi pertunjukkan utama pada tahun 1969. Sajian "full humor 100%", begitu mereka menyebutnya. Teguh Srimulat kemudian melambungkan kelompok lucu Srimulat ini pada puncak kejayaannya, antara tahun 1970-1990-an awal. Kelompok humor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membuka franchise panggungnya yang juga laris di Jakarta dan Solo pula dengan mengawaki 300 lebih pelawak dan penghibur. Jagad dunia lawak Indonesia kemudian mengenal nama-nama terkenal antara lain seperti Asmuni, Bambang Gentolet, Basuki, Bendot, Djudjuk, Eko DJ, Gepeng, Gogon, Kadir, Mamiek, Nunung, Nurbuat, Subur, Tarzan, Tessy, Timbul, Triman, Vera, dan masih banyak lagi.<br />
<br />
Namun prahara menerpa. Srimulat limbung dan meninggalkan hutang cukup besar waktu menutup cabang di Jakarta kepada pemilik gedung. Setelah vakum 5 tahun, tanpa terduga lewat serangkaian lobi Jujuk, istri baru Teguh Srimulat dengan Kadir Mubarak, eks Srimulat yang sukses main di beberapa film komedi, Srimulat mendulang sukses kembali dengan nama Srimulat Reuni. Bahkan bukan itu saja, kebangkitan televisi swasta punya andil menghidupkan pementasan Srimulat bukan hanya di satu stasiun, bahkan di beberapa stasiun sekaligus meskipun dengan nama yang beragam: Ketoprak Humor (RCTI) digawangi Timbul dan Basuki, Toples (ANtv), dll. Meskipun pada akhirnya, di tahun 2009 ini, Srimulat kembali tiarap.<br />
<br />
<a href="http://the-marketeers.com/wp-content/uploads/2011/03/srimulat.jpg"><img alt="" border="0" src="http://the-marketeers.com/wp-content/uploads/2011/03/srimulat.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; display: block; height: 270px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 450px;" /></a><br />
Apa yang membuat Srimulat begitu istimewa sebenarnya? JB Kristanto yang pernah meneliti Srimulat di tahun 1970-an menyatakan bahwa Srimulat memiliki dramaturginya sendiri yang beda dengan kesenian tradisional: ludruk, wayang orang, ketoprak, tayuban, dll. Ia lebih modern dengan membagi dalam 2 babak dan masing-masing babak terdiri dari 6 adegan. Babak awal selalu diawali dengan monolog ngudarasa/ngrasani.<br />
<br />
Malahan, monolog-monolog Srimulat hampir semua aku hapal di luar kepala. Misalnya begini:<br />
<br />
Layar dibuka dan seorang pembantu laki-laki masuk membawa kemoceng. Kain lap tersampir di bahunya.<br />
<br />
PEMBANTU<br />
(ngedumel) Ealah... 5 tahun kerja di rumah Pak Tarzan kok, gaji tidak naik-naik. Kalau begini yang naik cuma darah, alias jadi cepat marah. Hehehe.<br />
<br />
<br />
Pembantu yang muncul di babak pertama sungguh tidak bisa disepelekan. Karena ia justru pemegang peran utama dan hanya yang dipercaya oleh Teguh atau sutradara sajalah yang mampu jadi pembantu. Pembantu itu yang selalu mengawali pertunjukkan Srimulat dengan monolog ngudarasa dan jadi juru pembuka sekaligus penentu apakah pertunjukkan lawak hari itu akan sukses atau tidak. Mana ada jenis lawakan lain memakai formula seperti ini?<br />
<br />
Sekarang mengenai isi lawakannya. Menurutku Srimulat terbilang sebagai kelompok pelawak yang "terlalu santun" dalam melawak. Tidak berisi kritik yang tajam, semua serba berlapis-lapis persis seperti orang Jawa. Sindiran sosial dan politik ke pemerintah nyaris sublim, yang kental malah lawakan tentang masyarakat, semisal memperolok orang-orang yang sok kekota-kotaan. Ini misalnya pada tokoh Triman yang sering kepleset mengatakan 'gilo le' padahal maksudnya 'gile lo'. Bukan hanya itu, oleh Anwari disebut Srimulat itu mewakili genre sendiri.<br />
<br />
Secara historis, Srimulat diletakkan pada genre berikut:<br />
<br />
1. Genre Lawak Srimulat<br />
Srimulat dan deretan lawak tradisional (ludruk, bebodoran) yang mengandalkan improvisasi dari benang merah cerita. Unsur kritik sosial lebih kentara.<br />
<br />
2. Genre Lawak Literer (lawak kritis)<br />
Adalah grup lawak yang mematangkan diri sebelum naik panggung dengan skenario. Unsur kritik politiknya lumayan kental. Masuk ke kategori ini adalah Warkop DKI, Bagito, Patrio, dll.<br />
<br />
3. Genre Lawak Alternatif<br />
Semisal Ateng-Iskak-Edy Sud, Djayakarta (Jojon) yang tidak mengacu pada dua genre di atas. Lawakan Ateng, misalnya, tidak slapstick tapi juga tidak terlalu kaku mengikuti skenario.<br />
<br />
Contoh lawakan macam ini adalah Ateng. Ini plotnya Ateng yang menurutku juga lumayan lucu.<br />
Pelawak 1: Mas masih tinggal di tempat dulu?<br />
Pelawak 2: Oh nggak, yang dulu sudah saya kontrakkan<br />
Pelawak 1: Sama siapa?<br />
Pelawak 2: Sama Dubes<br />
Pelawak 1: Wah, hebat juga ya. Kenapa?<br />
Pelawak 2: Karena rumah itu mau dijadikan percontohan rumah orang miskin di Indonesia.<br />
<br />
Apalagi yang bisa ditemukan dalam membicarakan Srimulat? Sungguh banyak, karena kelompok yang sudah muncul tahun 1950-an ini betul-betul punya gudang kisahan yang dapat diceritakan. Misalnya tentang "ideologi" yang dikembangkan Teguh bahwa "aneh itu lucu dan yang lucu itu aneh". Turunannya adalah berbagai hal aneh berikut ini:<br />
<br />
* Eko Londo alias Eko Handai Tolan Hawai Fife O Jhon Tra la la la la la padahal nama sebenarnya Eko Kuntoro Kurniawan<br />
* Tarzan adalah nama panggung Toto Muryadi, pelawak Lokaria Surabaya yang hijrah ke Srimulat<br />
* Polo itu nama yang digunakan Bharata<br />
* Nunung itu bukan nama asli. Nama sebenarnya adalah Tri Retno Prayudati<br />
* Tessy alias Tessy Kadarwati Srimulyani Barokah Kabul yang digunakan Kabul Basuki sebagai nama panggung setelah diminta Teguh untuk ganti nama yang aneh.<br />
* Skripsi untuk skenario benang merah mereka<br />
* Gaya rambut Gogon yang mirip sikat sepatu.<br />
* Yongky yang sebenarnya petinju tapi justru ditampilkan sebagai drakula atau kuntilanak. Tidak pernah kebagian dialog, tetapi kehadirannya memberi warna pada pementasan Srimulat.<br />
<br />
Sembari guyonan, aku sempat menyatakan ke Nanto Sriyanto perihal barangkali kita sebagai generasi terakhir yang akan mengenang gegap gempita Srimulat. Karena memang Srimulat sungguh menemui tantangan yang luar biasa hebat bila nantinya akan muncul kembali. Mau tidak mau Srimulat harus tanggap dengan perkembangan atau pergeseran pasar. Mereka harus mulai menggunakan naskah dan berpakaian jas. Tapi buatku, pada saat itu sebenarnya Srimulat sudah bukan lagi Srimulat yang kukenal, yang bermain-main, bermodal skenario tak kaku. Karena setiap kali melihat permainan mereka, sungguh seperti kata Johan Huizinga, seorang ahli pikir dan filsafat, elemen "bermain-main" dalam kebudayaan dan masyarakat itulah yang menciptakan kegembiraan.<br />
<br />
"Marilah kita mulai proses menjadi manusia itu dengan tertawa. Kita butuh Srimulat, kita butuh Srimulat yang membuat tawa kita kembali menjadikan kita sebagai manusia. Kita butuh Srimulat! Agar Indonesia ini bisa tertawa.” Kalimat di sampul belakang buku ini tepat dijadikan sebagai akhir catatan baca ini.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur</span><br />
Karya Anwari<br />
Terbit 1999 oleh Pustaka LP3ES<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 9798391853 (isbn13: 9789798391859)<br />
Tebal: 437 halaman<br />
Rating: 4/5Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-81384924314263769522011-07-13T07:12:00.000-07:002012-01-06T01:46:33.145-08:00Cinta dan Kebaikan di Amerika Pasca KiamatSEBERAPA banyakkah dunia ini memiliki cinta dan kebaikan? Siapakah yang memilikinya? Akankah cinta dan kebaikan kalah ketika harapan hampir-hampir sirna dari muka bumi? Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche pernah menuliskan jawaban demikian atas pertanyaan tadi: "Tak ada cukup banyak cinta dan kebaikan di dunia ini yang mengizinkan sedikitpun darinya pergi dari setiap insan." Itu berarti, jumlah cinta dan kebaikan hanya ada sejumput di dalam hati manusia, sisanya mungkin yang disebut dengan 'kebinatangan' kita. Pertanyaan yang sama, juga hendak dijawab oleh Cormac McCarthy lewat novelnya berjudul "The Road".<br />
<br />
<a href="http://www.firstshowing.net/img/mccarthy-theroad-FL-tsr.jpg"><img alt="" border="0" src="http://www.firstshowing.net/img/mccarthy-theroad-FL-tsr.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; display: block; height: 170px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 350px;" /></a><br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia menjadi "Jalan" oleh Gramedia Pustaka Utama 2009, novel pemenang Pulitzer Price for Fiction 2007 berisi epik tentang kehancuran dunia lewat penceritaan perjalanan berbulan-bulan seorang ayah dan anaknya melewati dunia Amerika yang telah hangus terbakar. Tak ada yang tertinggal di atas bumi, selain debu-debu sisa kebakaran: pohon mati menghitam, rumah terbakar, mayat-mayat, puing-puing sisa bangunan. Dinginnya malam saat itu sanggup meremukkan bebatuan. Debu terus turun, bahkan salju pun berwarna abu-abu. Mereka menuju ke pantai di daerah selatan, meskipun mereka tidak tahu apa yang menanti mereka di sana. Mereka tidak punya apa-apa, hanya sepucuk pistol untuk melindungi diri dari serangan orang-orang barbar, pakaian mereka hanya yang melekat saja, dan kereta dorong yang berisi makanan yang berhasil mereka pungut di sepanjang perjalanan: apel kering yang hampir busuk, buah dalam kaleng di dalam bunker, atau kadang-kadang sekedar selimut atau terpal untuk melawan dingin malam dan hujan. Mereka makan, tapi lebih sering kelaparan. Dalam keadaan dimana harapan tempat yang lebih baik tidak ada, selain kehancuran total dan kebengisan mereka yang masih hidup, ayah dan anak itu mencoba bertahan dengan saling mengandalkan satu sama lain dengan cinta. Lewat dialog di antara mereka berdua, drama sesungguhnya dibangun.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Papa punya teman?<br />
Ya. Punya.<br />
Banyak?<br />
Ya.<br />
Papa ingat mereka?<br />
Ya. Aku ingat mereka.<br />
Apa yang terjadi pada mereka?<br />
Mereka mati.<br />
Semuanya?<br />
Ya. Semuanya.<br />
Papa merindukan mereka?<br />
Ya. Rindu.<br />
Ke mana kita?<br />
Ke selatan.<br />
Oke.</span><br />
<br />
Hampir setiap malam, sang ayah selalu batuk-batuk tanpa henti dan ia tahu bahwa ia sedang sekarat menuju ajal. Sedang anaknya yang masih terlalu kecil itu, masih polos murni, hanya dapat mengenang bumi yang indah dan didiami oleh orang-orang baik melalui cerita ayahnya karena apa yang ia lihat setiap hari bertolak belakang semuanya. Sang ayah berjuang untuk melindungi anaknya dari ancaman dan kelaparan. Begitu cintanya pada sang anak, sampai-sampai pistolnya berisi dua peluru yang digunakan untuk bunuh diri bila perlu, takut-takut mereka malah ditangkap dan dimakan oleh para kanibal yang juga berkeliaran karena tidak adanya makanan lain. Menghadapi semua tantangan ini, ayah dan anak itu benar-benar hanya bisa mengandalkan satu sama lain. Si ayah selalu melindungi dan si anak selalu harus percaya pada ayahnya. Dalam cerita itu, pembaca akan berulangkali membaca obrolan tentang "membawa api". Misalnya ketika mereka baru saja lolos dari rumah para kanibal, sang anak bertanya pada ayahnya.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Kita tidak akan makan orang kan?<br />
Tidak. Tentu saja tidak.<br />
Bahkan ketika kita kelaparan?<br />
Kita kelaparan sekarang.<br />
Kamu bilang kita tidak.<br />
Aku bilang kita tidak sekarat. Aku tidak bilang kita tidak kelaparan.<br />
Tapi kita tidak akan.<br />
Tidak. Kita tidak akan.<br />
Apapun yang terjadi.<br />
Tidak. Apapun yang terjadi.<br />
Karena kita orang baik.<br />
Ya.<br />
Dan kita membawa api.<br />
Dan kita membawa api, benar.<br />
Oke.</span><br />
<br />
Atau ketika ayah meminta si anak untuk berani ditinggal sendirian, sementara sang ayah harus pergi memeriksa keadaan sekeliling.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Kamu tidak bisa. Kamu harus membawa api.<br />
Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.<br />
Iya kamu tahu.<br />
Apakah itu nyata? Api itu?<br />
Ya, sungguh.<br />
Dimanakah api itu? Aku tidak tahu dimana.<br />
Tentu kamu tahu. Ia ada di dalam dirimu. Ia selalu ada di sana. Aku tahu itu.<br />
</span><br />
"Membawa api" dalam cerita ini berarti menggelorakan harapan, meskipun harapan itu sendiri begitu tipis di hadapan dunia yang dilukiskan Cormac McCarthy sebagai dunia ketika "pembunuhan terjadi dimana saja di atas bumi" dan "didiami oleh orang-orang yang tega memakan anaknya sendiri di depan matamu". Dunia yang mereka hadapi adalah neraka dan kita dapat membaca apakah yang akan dilakukan orang pada situasi seperti ini. Apakah masih ada harapan untuk menyelamatkan peradaban manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini yang selalu menyertai kita sampai ke akhir cerita karena hanya dengan tetap menanam harapan, kita akan selamat, begitu kira-kira pesan novel ini.<br />
<br />
<a href="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSD-MfsqNJ6ORyoj1V_hk1N4fRuZChqvnDBaVYOoLlf07u55Ddd"><img alt="" border="0" src="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSD-MfsqNJ6ORyoj1V_hk1N4fRuZChqvnDBaVYOoLlf07u55Ddd" style="cursor: hand; cursor: pointer; float: right; height: 183px; margin: 0 0 10px 10px; width: 276px;" /></a>Lewat novel ini, dan terlebih lewat tokoh "ayah", Cormac McCarthy menawarkan suatu konsep filosofis tentang apa yang baik dan jahat. Saat tidak ada yang namanya abu-abu. Saat "yang baik" digambarkan oleh mereka yang bertahan untuk tidak makan sesamanya dan tetap menjaga harapan akan kehidupan yang lebih baik. Baik atau jahat digambarkan begitu jelas, bahkan digambarkan lewat cerita ketika bertemu dengan seorang pria tua buta bernama Ely, ayah sampai-sampai berkata dirinya adalah dewa, yang menjaga kebenaran di dunia yang sedang sekarat. Dan si ayah sedang menjalankan misi, untuk menemukan orang-orang baik lainnya, semoga masih saja ada, karena ia percaya bahwa anak itu spesial. Sungguh anak itu benar-benar generasi kemanusiaan selanjutnya.<br />
<br />
Ia telah berhasil menjadikan tokoh "ayah" sebagai semua orang dengan harapan semua orang terus menghidupkan harapan menghadapi dunia yang makin sekarat. Novel yang disebut sebagai salah satu dari 50 karya novel ekologis dunia ini rasa-rasanya memberikan asupan nilai yang begitu penting pada semua kita yang kini begitu entengnya menyikapi kehancuran ekologis di sekitar kita.<br />
<br />
Beberapa catatan perlu diberikan untuk novel ini: Pertama, inspirasi novel yang luar biasa ini disebut Cormac McCarthy muncul saat ia pergi bersama anaknya ke El Paso, Texas tahun 2003. Saat itu ia membayangkan "kebakaran di bukit" dan memikirkan nasib anaknya kelak bila terjadi. Itulah yang menyebabkan nama anaknya, John Francis McCarthy, tercantum di lembar dedikasi. Setelah memenangkan banyak penghargaan, sebuah film adaptasi novel ini sedang masuk tahap pasca-produksi, dibesut oleh sutradara John Hillcoat dan nantinya diperankan oleh Viggo Mortensne dan Kodi Smit-McPhee.<br />
<br />
Kedua, meskipun dapat dimengerti, namun boleh disayangkan bahwa proses penerjemahan novel yang disebut-sebut sebagai novel yang tidak mengindahkan penulisan tanda baca dalam bahasa Inggris ini tidak bisa menghadirkan gaya bahasa yang indah dan penulisan gaya Cormac McCarthy yang asli. Proses penerjemahan novel ini oleh Sonya Sondakh dan disunting oleh sastrawan Sapardi Djoko Damono ini tidak bisa menyalin hal-hal semacam ini:<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">They looked at each other.<br />
One more.<br />
I dont want you to get sick.<br />
I wont get sick.<br />
You havent eaten in a long time.<br />
I know.<br />
Okay.</span><br />
<br />
Lihat bagaimana absennya tanda baca di dalam dialog tadi. Yang terlewatkan juga dari proses penerjemahan adalah hilangnya sejumlah kosa kata yang jarang sekali digunakan dalam bahasa Inggris, semacam gryke, gambreled, laved, soffits, gelid, bivouack. Keindahan yang hanya bisa dirasakan dalam novel aslinya. Ada juga cacat dalam penerjemahan zombie yang ditulis dengan zombe. Namun secara utuh, novel ini sungguh layak mendapatkan perhatian kita.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">The Road (Jalan)</span><br />
karya Cormac McCarthy<br />
Terbit 2009 oleh Gramedia Pustaka Utama<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 9789792243<br />
Tebal: 260 halaman<br />
Penerjemah: Sonya Sondakh. Penyunting: Sapardi Djoko Damono<br />
Rating: 5/5Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-351575169189561672011-07-13T07:11:00.000-07:002012-01-06T01:46:52.136-08:00Saat Leo Tolstoy Bicara Rumah Tangga BahagiaTERJEMAHAN judul yang jelas keliru dari judul yang seharusnya diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi <span style="font-style: italic;">Family Happiness</span> (bukan <span style="font-style: italic;">A Happy Married Life</span> yang kemudian seharusnya diterjemahkan menjadi Kebahagiaan Rumah Tangga dan bukan Rumah Tangga yang Bahagia. Tapi biarlah kekeliruan ini tidak menutupi hal-hal utama yang hendak disampaikan Tolstoy dalam novelia ini.<br />
<br />
Dalam <span style="font-style: italic;">Family Happiness</span>-nya Tolstoy bercerita tentang seorang perempuan muda bernama Masha, Marya Alexandrovna, yang berusia 17 tahun. Masha jatuh cinta pada teman baik ayahnya sekaligus walinya, Sergei Mihailovich yang jauh jauh lebih tua darinya. Ini bukan hanya cerita jatuh cintanya Masha, tapi juga jatuh cintanya Sergei Mihailovich pada Masha. Cerita-cerita ini mungkin terjadi kan? Bukankah pria-pria menjelang paruh baya selalu menarik buat perempuan-perempuan muda? Hehehe... Lalu ketika akhirnya mereka menikah, berapa lama kebahagiaan dalam rumah tangga bisa dipertahankan?<br />
<br />
Topik yang kurang lebih sebangun dalam novel Anna Karenina dengan bahan "gagasan tentang keluarga" menjadi faktor dominan dan menentu bentuk struktur novel ini. Bagaimana Tolstoy memahami tentang gagasan berkeluarga? Apa yang menjadi kriteria baginya atas keluarga yang "baik" dan keluarga yang "buruk? Hal-hal inilah yang menarik ditarik dari cerita ini.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Jika dibanding dengan Anna Karenina yang lebih banyak mengulas keluarga tidak bahagia, di novelia ini Tolstoy lebih fokus ke keluarga Sergei-Masha ini yang digambarkan di awal pernikahan mereka begitu hidup, bahagia dan lebih tepat lagi harmonis. Meskipun demikian ancaman menuju ketidakbahagiaan selalu ada, apalagi Masha masih begitu muda dan masih banyak belajar dari kehidupan.<br />
<br />
Dalam waktu tiga tahun perkawinan, apa yang semula bahagia mulai berubah ketika Masha terbuai dalam kehidupan perkotaan, digunjingkan orang, dan mulai masuk ke dunia dansa-dansi. Untunglah kejadian tidak berlangsung lama dan akhirnya hidup bahagia Masha-Sergei kembali terjadi.<br />
<br />
Dari sekian ini tampak yang menjadi indikator bagi Tolstoy untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga adalah soal berikut ini:<br />
1. Kesetiaan atau ketidaksetiaan pada pasangan lain<br />
2. Garis nenek moyang, ia bedakan antara yang berasal dari keluarga lengkap dengan yang yatim-piatu, yang hidup dengan yang telah meninggal<br />
3. Penerus, kehadiran anak punya peran penting<br />
4. Pembagian tanggungjawab pada keluarga, hubungan lelaki-perempuan<br />
5. Tempat tinggal, mulai dari tempat yang nyaman seperti St. Petersburg hingga dusun-dusun terpencil di Rusia<br />
<br />
<a href="http://literallife.files.wordpress.com/2010/11/tolstoy-2.jpg"><img alt="" border="0" src="http://literallife.files.wordpress.com/2010/11/tolstoy-2.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; display: block; height: 350px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 615px;" /></a><br />
<br />
Wah, luar biasa bukan cara ia menuliskan ini semua? Tentu tidak mudah misalnya menyelami karakter Masha yang begitu naif memandang keluarga dan mencari cara untuk membahagiakan suaminya. Pada saat membaca cerita inilah aku suka iseng bertanya: darimana datangnya kata-kata ini? Apakah Tolstoy pernah mengalami dan menuliskan sendiri kisah kehidupan keluarganya? Karena rasanya, apa yang ditulisnya ini benar-benar murni, datang dari jiwa si karakter utama - Masha.<br />
<br />
Cara ia bertutur begitu mengalir, seperti sesuatu yang otomatis saja. Alami, mengalir, bisa mengaduk-aduk emosi, dan meskipun sedikit terasa menyeret-nyeret, tetap bisa menghadirkan kebijaksanaan bagi yang membacanya. Tolstoy bukan saja menulis jalan pikiran dan hati manusia , tapi meletakkan kepercayaan besar pada keduanya: pada akhirnya kemanusiaan manusia akan menang atas kegelapan hatinya. Betul-betul berkelas.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">Rumah Tangga yang Bahagia</span><br />
karya Leo Tolstoy<br />
Terbit 2008 oleh Pustaka Jaya (Cetakan Pertama, 1976)<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 9789794193<br />
Tebal: 168 halaman<br />
Diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris A Happy Married Life terjemahan Margaret Wettlin oleh Dodong Djiwapradja.<br />
Rating: 3/5Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-40330944176646801562011-07-13T07:10:00.000-07:002012-01-06T01:47:50.165-08:00Sejarah Otista Yang TerungkapBANDUNG bagiku lebih dari sekedar kota yang penuh makanan enak: batagor Riri, mie ayam Akung, yoghurt Cisangkuy, klappertart, dll. dan deretan Factory Outlet yang menyediakan kebutuhan sandang mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sekedar mengingatkan seandainya lupa bahwa Bandung pernah jadi tempat Soekarno menempuh pendidikan di THS (sekarang ITB) dan mendekam di penjara Sukamiskin karena idealismenya. Tapi lebih dari itu Bung, Bandung pernah melahirkan tokoh besar bagi bangsa ini, seorang yang dari suaranya saja bisa membuat kakimu bergetar mendengar, tapi entah bagaimana kisahnya hampir saja hilang ditelan waktu. Suara kritikannya pedas dan keras, itulah sebabnya ia dijuluki "Si Jalak Harupat" -- ayam jago yang pintar berkokok dan selalu menang jika diadu. Julukan ini berasal dari salah seorang guru HIS Cianjur bernama Wirasendjaja, kakak Sutisna Sendjaja pemimpin redaksi pertama surat kabar sunda Sipatahoenan. Namanya Oto Iskandar Di Nata. Disingkat Otista. Atau Otis demikian ia menyebut dirinya sendiri.<br />
<br />
Nama Otista sekilas kukenal sebagai nama jalan di Jakarta dan di Bandung, namun pelajaran sejarah di sekolah tidak menyisakan secuil pun kisahan untuk didengar murid-muridnya. Tapi untunglah kisah hidup Si Jalak Harupat ini terangkum dalam buku ini, disampaikan dalam bentuk biografi politik yang menarik oleh Iip D. Yahya dengan teknik flashback yakni dengan terlebih dulu menceritakan kematiannya baru kemudian sepak terjangnya di dunia pergerakan, meski harus diberi catatan bahwa buku ini bukanlah buku satu-satunya dan pertamakalinya yang mengisahkan diri Oto Iskandar Di Nata. Ada paling tidak empat buku lainnya, termasuk buku Si Jalak Harupat: Biografi Oto Iskandar Di Nata karangan sejarawan wanita pertama Nina H. Lubis yang terbit tahun 2003 lalu.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Oto Iskandar Di Nata yang lahir di Dayeuhkolot Bandung itu dibunuh dengan dipancung di tepi pantai Ketapang, Mauk Tangerang tanggal 20 Desember 1945 sekitar jam 8.30 WIB. Yang mengeksekusi seorang polisi Mujitaba bin Murkam dari sebuah kelompok garis keras bernama Laskar Hitam, di bawah departemen pertahanan Direktorium Tangerang. Jasadnya kemudian dibuang ke laut dan hilang. Kasusnya lama didiamkan, baru 14 tahun kemudian diadakan penyelidikan dan akhirnya menyebabkan para pelaku dikenai hukuman penjara, tapi tetap "otak" di balik pembunuhan itu tak terungkap. Karena jasadnya tak ditemukan, yang dikubur di Bandung sana itu sekedar pemakaman simbolis, yakni gundukan pasir dari pantai Ketapang, Mauk. Secara investigatif, Iip menulis sejumlah kemungkinan "otak" di balik pembunuhan Oto, yang disusun berdasarkan sejumlah informasi yang ada di tahun-tahun menjelang kematian Oto dan juga kesaksian Djumadi yang menyaksikan eksekusi itu dari jauh.<br />
<br />
Diceritakan oleh Iip D. Yahya, sangkaan bahwa Oto adalah "agen NICA" adalah dugaan yang tidak pada tempatnya. Iip menduga fitnah ini dihembuskan oleh pihak tertentu yang tidak suka pada kiprah Oto di Paguyuban Pasundan (PP), organ pergerakan yang basisnya amat kuat di seantero negeri Pasundan dengan menganalisis siapa yang akan diuntungkan dengan kematian Oto. Oto juga bukan mata-mata Jepang. Dua tuduhan itu lemah sekali bila didasarkan pada sikap kooperatif Oto pada penjajahan Belanda dan Jepang. Justru yang diuntungkan oleh kematian Oto adalah NICA, sehingga fitnah itu boleh jadi justru berasal dari mata-mata NICA yang melancarkan operasi gelap. Meskipun demikian, Iip memberikan juga kemungkinan bahwa aksi itu dilancarkan sendiri oleh Direktorium Tangerang pimpinan Achmad Chairun yang saat itu memisahkan diri dari RI. Yang justru mengherankan Iip adalah tidak adanya tanggapan cepat dari para politisi lain untuk mencegah peristiwa ini terjadi.<br />
<br />
Bagian pertama tadi yang berisi misteri di balik kematian Oto ditulis begitu menarik. Iip menulisnya ibarat seorang ahli forensik yang bekerja teliti mengangkat renik-renik informasi yang berceceran. Bahkan Iip memberikan tabel pembanding dengan apa yang terjadi di saat yang sama dalam skala nasional. Meskipun tidak ada kesimpulan yang bulat, tetapi bagian ini sudah memberi penekanan yang penting pada judul buku yang diangkat: The Untold Stories.<br />
<br />
Bagian kedua hingga terakhir dari buku ini mengulas siapa Oto Iskandar Di Nata dari sisi pergerakan politiknya di Paguyuban Pasundan, Volkstraad, hingga PPKI, pergerakan ekonomi, hingga pergerakan pendidikan. Semua sesuai dengan pandangan Oto Iskandar Di Nata bahwa ia hendak berkecimpung bukan hanya di bidang sosial, tapi juga bidang ekonomi, dan pendidikan, semua ditujukan untuk kemajuan bangsa Sunda. Iip bahkan merasa perlu membuktikan semua itu dengan mencantumkan pelbagai salinan naskah pidato Oto di kongres PP dalam bahasa Sunda berikut terjemahannya, interpelasi di dalam Volkstraad, surat pembelaan, dan salinan-salinan pembuktian lainnya hanya untuk memberi gambaran yang utuh tentang siapa Oto, arti pentingnya agar ia harusnya tidak sepi dari perhatian orang.<br />
<br />
Lewat buku ini Iip memberi penegasan bahwa Oto adalah orang Sunda yang pertamakali punya tirakat untuk membubarkan PP karena sudah ada Budi Utomo yang menurutnya lebih tepat dijadikan kendaraan politik menuju persatuan, tetapi bahwa Oto pula orang yang akhirnya keluar dari BU dan memilih membesarkan PP hingga menjadi organisasi modern yang bergerak di bidang sosial-politik, ekonomi, dan pendidikan. Oto juga adalah orang yang pertama-tama mencetuskan teriakan "Merdeka", bukan Soekarno. Oto bukan ketua Persib seperti yang dilansir banyak orang, tetapi memang Oto adalah penyuka sepakbola dan merupakan pendukung berat kesebelasan Maung Bandung itu. Semua itu diangkat untuk memberi perimbangan atas tuduhan Oto itu seorang "provinsialistik" sebagaimana nyata benar dalam pemikirannya bahwa persatuan Indonesia lebih baik dicapai dengan jalan federalis daripada jalan unitaris.<br />
<br />
Bung, berikut ini adalah bahan yang aku temukan di luar buku ini yang cukup menarik untuk dibaca. Dikutip dari sebuah sidang Volksraad tahun 1931 dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Coba kamu rasakan getar keberanian Oto ini agar ruhnya "hidup" dan tergambar padamu.<br />
<br />
<br />
Oto Iskandar Di Nata: “… contohnya, sewaktu Ratu Wilhelmina ulang tahun pada tanggal 31 Agustus yang harus dirayakan di seluruh penjuru negeri. Para pengrehpraja sibuk mengumpulkan biaya perayaan dengan memotong gaji pegawai dan memungut iuran dari rakyat yang miskin. Katanya iuran itu sukarela, padahal merupakan pemaksaan. Mereka menurut karena takut. Maka uang itu tidak halal; pesta perayaannya juga tidak halal. Katanya Ratu itu ibu rakyat, bila dipestakan dengan cara begitu sama saja dengan merendahkan derajatnya. Tanda penghormatan itu hanya kemunafikan.”<br />
<br />
Ketua Sidang: “Ucapan-ucapan itu sangat tidak pantas!”<br />
<br />
Oto Iskandar Di Nata: “Memang tidak baik, tetapi Tuan Ketua, itu karena pesta itu merugikan pendidikan rakyat. Pesta-pesta hanya dipergunakan untuk meraih kedudukan. Saya yakin kalau Ratu mengetahui hal ini, beliau tidak akan mau dihormati dengan cara begitu. Bahkan mungkin marah!”<br />
<br />
Tuan Frain: “Saudara buruk sangka, kepada rakyat Saudara sendiri!”<br />
<br />
Oto Iskandar Di Nata: “Salah susunan!”<br />
<br />
Tuan Monod de Froideville: “Biasa, menyalahkan orang lain!”<br />
<br />
Oto Iskandar Di Nata: “Tentu, Lihat saja, berapa banyak rakyat Indonesia tidak mendapatkan pengajaran di sekolah!”<br />
<br />
Tuan Hamer: “Bayar sekolah sendiri!”<br />
<br />
Oto Iskandar Di Nata: “Itu urusan negara!”<br />
<br />
Tuan Hamer: “Itu perkiraan Saudara saja!”<br />
<br />
Oto Iskandar Di Nata: “Pendidikan yang ada sekarang hanya sebagai klerek pabrik dan jurutulis. Para pangrehpraja berperilaku sebagai penjilat, karena salah mendidik!”<br />
<br />
<br />
Bung dan Nona, kau dapat gambaran yang kumaksud itu 'kan? Keberanian dan kepekaan pada masalah sosial macam pribadi Oto adalah hal yang membuat buku ini semakin menarik dibaca. Bagaimana cara pandangnya yang haus akan keadilan, membuat bukan saja Iip D. Yahya yang terpesona, tetapi juga diriku iri mengapa tokoh semacam ini makin langka saja dari Republik ini digantikan vokalis-vokalis yang lebih mementingkan kelompoknya sendiri, bukan bangsanya. Memang sejarah hanya merupakan catatan masa lalu, tetapi dengan berbekal catatan masa lalu itu, bukankah dapat dititi masa depan yang lebih baik.<br />
<br />
DETIL BUKU<span style="font-weight: bold;"> </span><br />
<span style="font-weight: bold;">Oto Iskandar Di Nata: The Untold Stories</span><br />
Karya Iip D. Yahya<br />
<br />
Terbit Desember 2008 oleh FDWB Publishing<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: - (isbn13: 9789791772907)<br />
Halaman: 266<br />
Cetakan kedua<br />
Rating: 3/5Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-30264724090729469702011-07-13T07:09:00.000-07:002012-01-06T04:59:23.011-08:00Bunga Rampai tentang Pramoedya Ananta ToerDULU, setiap tahun hatiku selalu berdebar-debar mendekati tanggal 6 Februari. Aku jadi gelisah mencari-cari kabar, apakah tahun itu akan ada perayaan ulang tahun Pramoedya Ananta Toer atau tidak. Biasanya selalu ada, dan biasanya selalu dipenuhi orang. Bila ada dan sempat, aku datang.<br />
<br />
Luar biasa animo orang untuk mengenal sastrawan yang satu ini; tua-muda, perempuan pun ada, ada yang berbaju necis hingga gembel bulukan macam aku. Tak ada itu yang berbaju merah lambang palu arit, mengepal tangan tinggi-tinggi menyanyi lagu Internasionale.<br />
<br />
Karena setelah membaca karyanya dan berpikir, akhirnya upaya untuk menempatkan Pramoedya dalam kelompok tersebut hanya akan mengecilkan dan menyempitkan arti sastrawan yang berulang-ulang menjadi Kandidat Nobel Sastra Dunia itu.<br />
<br />
Rutinitas itu terus kulakukan sejak suatu persinggungan dengan dirinya di tahun '90-an hingga Pram merayakan ultah ke-81 di Teater Kecil TIM Jakarta. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dengan berbaju batik, di ultah ke-81 Pram datang dengan baju putih bersih, wajah cerah, dan murah senyum. Pram seperti hendak menyampaikan kata berpisah. Dan akhirnya benar, 30 April 2006 ia berpisah dari bumi manusia.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Kematiannya yang terlalu sederhana, dikubur di pemakaman Karet Bivak berdekatan dengan makam sastrawan Chairil Anwar, dengan awan hitam pekat yang menggantung pada tanggal itu, begitu membuatku gusar. Tak sadarkah kita sebagai bangsa, kita baru saja kehilangan orang yang berkebalikan dengan pandangan mayoritas bangsa ini yang digelapkan oleh propaganda anti-komunis Orde Baru dan Islam, justru orang yang peduli pada kepribadian bangsa. Pram pergi begitu saja, begitu cepat disapu oleh hujan besar selepas pemakamannya.<br />
<br />
Soesilo Toer, adik Pramoedya yang biasa dipanggil Cus, mengatakan banyak orang berujar saat ini Pramoedya sudah damai. Tapi ia meragu, karena nama Toer di belakang nama Pramoedya dan dirinya, sebagai warisan dari nama ayah mereka, bukan sekedar nama, tapi memiliki kepanjangan: Tansah Ora Enak Rasane (Benar-benar tidak enak rasanya). Artinya, keturunan Toer adalah orang-orang yang tidak pernah enak, tidak pernah damai hidupnya. Ia tidak yakin apakah Pram pada akhirnya berdamai atau malah ia kembali tidak merasa damai di 'sana'.<br />
<br />
Cus tidak sendiri yang berpendapat. Ada Tariq Ali, Max Lane, Michael Vatikiotis, hingga cucunya Cyntia Ananta Toer, lalu sastrawan Asep Samboja, Dino Umahuk, Goenawan, dan lain-lainnya termasuk diriku menulis, masing-masing menulis apa yang kami ketahui tentang diri Pramoedya Ananta Toer.<br />
<br />
Kedekatan personal macam ini, kegelisahan pribadi, perkenalan yang hangat, penilaian orang-orang akan pribadi Pramoedya yang jenaka, penuh kepedulian akan bangsa, keras kepala itulah yang terangkum di dalam buku ini. Karena sejatinya buku ini merupakan bunga rampai yang terdiri dari rangkaian kumpulan cerita, kesan, pendapat dan pengalaman dari orang-orang di dalam maupun luar negeri serta dari keluarga akan diri Pramoedya Ananta Toer. Buku ini menurutku juga merupakan upaya yang luar biasa untuk mengumpulkan seluruh bahan yang terserak di pelbagai media sehingga sekarang dengan mudah dibaca dalam satu buku. Tujuannya aku pikir cukup jelas: agar semakin banyak orang Indonesia yang tergerak untuk menghargai karya-karya dan pemikiran-pemikirannya.<br />
<br />
DETIL BUKU<span style="font-weight: bold;"> </span><br />
<span style="font-weight: bold;">1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa</span><br />
karya Astuti Ananta Toer (Editor)<br />
<br />
Terbit Januari 2009 oleh Lentera Dipantara<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: - (isbn13: 9789793820200)<br />
Tebal: 504 halaman<br />
<br />
<br />
Rating: 3/5Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-30013695713004010212011-07-01T02:35:00.001-07:002012-01-06T01:50:33.242-08:00Kusut Masainya Catatan Tentang Masa Lalu IndonesiaCUKUP sering bukan kita mendengar frase Alex Haley yang menulis "Sejarah adalah milik mereka yang menang (<i>History is written by the winners</i>)"? Hampir selalu malah kudengar ini di fora pembahasan mengenai sejarah. Historiografi Indonesia adalah salah satunya.<br />
Sewaktu negeri ini masih berupa nusantara di masa kolonial Belanda, penulisan sejarah melulu hanya mengungkap Belanda sebagai pemeran penting sejarah di nusantara. Bahkan perspektif kemajuan bangsa Indonesia dipandang sebagai bagian dari "kebaikan hati" kaum liberal Belanda. Begitu tidak dipandangnya perjuangan rakyat melawan Belanda, membuat narasi penulisan sejarah kolonialisme hanya pendek, tidak sebanding dengan ratusan tahun usia penjajahannya. Begitu merdeka, di tahun 1950 buru-buru dituliskan berbagai perjuangan rakyat di seluruh nusantara, seolah-olah mereka berada dalam satu komando. Soekarno berada di balik upaya penulisan kemenangan perjuangan rakyat itu. Siapa pahlawan siapa bukan, ditentukan olehnya. Tan Malaka, Sultan Hamid II, dan lain-lain dimasukkan dalam jajaran mereka yang tidak punya peranan sejarah.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Cerita berlanjut. Soekarno digulingkan. A.H. Nasution dan Nugroho Notosusanto berada di balik penulisan gilang gemilang Soeharto. Tiba-tiba ia jadi tokoh penting di balik serangan di Yogya. Soeharto ada dimana-mana dan peran ormas-ormas lama dihapus digantikan narasi tentang partai baru pengusung Soeharto. Militerisasi sejarah begitu yang didengungkan di buku ini. Namun begitu Soeharto tumbang, buru-buru narasi penulisan sejarah yang terbungkam karena kalah memenuhi ruangan. Semua berebut menyatakan kebenaran. Kontestasi menuju siapa yang menang dan berhak menulis sejarah pasti seru untuk diamati.<br />
<br />
Hilmar Farid misalnya, menulis tentang peranan Pramoedya dalam mendekonstruksi sejarah bangsa lewat novel-novelnya. Harry Poeze mengangkat persoalan lain yang semangatnya sama: menggugat sejarah yang sudah dituliskan saat ini. Atau kita sedang mengamini perkataan David McCullough untuk menjadi bangsa pelupa.<i> "A nation that forgets its past can function no better than an individual with amnesia."</i><br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia</span><br />
karya Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (editor)<br />
<br />
Terbit 2008 oleh Penerbit Yayasan Obor Indonesia, KITLV Jakarta & Pustaka Larasan<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: - (isbn13: 9789794616482)<br />
Tebal: 446 halaman <br />
Rating: 5/5Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-24260863233770326402011-07-01T02:33:00.000-07:002012-01-06T01:55:53.823-08:00Di Balik Penciptaan PerlambangINI cerita tentang buku yang kubeli seharga tiga ribu perak, hasil cetakan pertama terbitan Indonesianya dari karya Art Buchwald yang berjudul asli Irving's Delight oleh Penerbit Iqra Bandung.<br />
<br />
Buku ini sudah lama kupunya dan aku suka ceritanya karena kisah di dalamnya sedikit merepresentasikan apa yang terjadi dalam realita hidupku di dunia kreatif iklan.<br />
<br />
Yang paling menarik dari bekerja di industri iklan adalah bagian menciptakan perlambang "baru" akan sesuatu. Contohnya begini: terhadap minuman kaleng Coca-Cola, kita tidak hanya melihat minuman bersoda, warna hitam. Tetapi kita menangkap perlambang di belakangnya, anak muda, budaya urban, kreativitas, dan lain-lain. Konsepnya kurang lebih seperti closure. Kita hanya melihat sedikit/sebagian, tetapi otak kita bekerja untuk mengelompokkannya dalam satu entitas baru.<br />
<br />
Baiklah, kita copot Coca-Cola dari otak kita. Kita gantikan dengan Dedy Mizwar. Dalam keseharian, kita tahu Dedy Mizwar adalah bapak, berprofesi sebagai aktor dan sutradara. Tetapi di dalam iklan, Dedy Mizwar merupakan perlambang dari seorang believer produk Yamaha, ndeso penampilannya tapi 2 derajat lebih pintar dari lawan mainnya Didi Petet.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Persoalan perlambang-perlambang inilah yang menurutku menjadi musabab mengapa aku masih berkecimpung di dunia iklan, dan kemudian hari di dunia film. Aku mencintai proses penciptaan perlambang.<br />
<br />
Jadi aku paham betul misalnya, mengapa McGruber dalam buku ini begitu gelisah bukan kepalang telah kehilangan perlambang yang sudah ia ciptakan: Irving. Irving adalah sebuah perlambang sukses bisnis perusahaan makanan kaleng untuk kucing bermerk Pussyfoot, juga perlambang kucing yang sehat, kucing yang menginspirasi banyak orang, dan selalu dinantikan kehadirannya di acara "mangkuk besar" di siaran televisi.<br />
<br />
Secara sosok digambarkan di dalam buku itu, Irving tidaklah istimewa. Hitam berbelang putih atau putih berbelang hitam itu tidak penting. Keistimewaan --atau bolehlah kita sebut keanehan-- Irving adalah ia bisa makan dengan cakarnya, bersih, persis seperti bagaimana orang menyendokkan makanannya dengan jari-jemari.<br />
<br />
Jadi satu kali Irving hilang, tak berbekas, sontak akan membingungkan hati McGruber dan segera membuatnya menyewa seorang detektif spesialis pencari binatang hilang dari Perancis dengan bayaran yang spektakuler: seribu dolar sehari.<br />
<br />
Kemana Irving hilang, kinerja unik Alain Bergmein yang doyan makanan serba berbau bawang, dan bagaimana akhirnya Irving ditemukan cukup seru untuk diikuti.<br />
<br />
DETIL BUKU<span style="font-weight: bold;"> </span><br />
<span style="font-weight: bold;">Cakar-Cakar Irving (Irving's Delight)</span><br />
karya Art Buchwald<br />
<br />
Terbit 1982 (terbit pertamakali 1976) oleh Penerbit Iqra Bandung<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: -<br />
Tebal: 102 halaman<br />
Karakter: Edgar Allen McGruder, Alain Bergman, Irving, Maria Drake<br />
Rating: 5/5Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-41490999611881696002011-06-26T23:41:00.000-07:002012-01-06T01:56:51.804-08:00Mengamini Kesahajaan Happy SalmaAKU tidak kenal Happy Salma. Baik dalam dunia keartisannya, maupun dalam dunia kesehariannya. Aku tidak seperti Sonny, misalnya, yang pernah sama-sama satu kampus di Yogya dan kenal baik pribadinya bahkan bisa dengan santai menghubungi Happy berhaha-hihi. Aku juga tidak tahu film/sinetron apa yang pernah dimainkan Happy Salma.<br />
<br />
Tapi ada pesona kegigihan yang dipancarkan Happy Salma waktu memerankan Nyai Ontosoroh di TIM 14 Agustus 2007 lalu. Dialog yang panjang dan sulit, yang dikutip langsung dari buku pertama tetralogi Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia, demikian mulus mengalir dari dirinya, seolah pada saat pementasan itu Happy Salma adalah Nyai Ontosoroh sendiri. Aku tidak risau dengan perawakannya yang kurang mirip gambaran Nyai Ontosoroh.<br />
<br />
Sejak saat itu, Happy Salma punya makna baru. Ia bukan artis sekedar. Selebritasi memang umurnya pendek. Maka syukurlah, ada artis yang tersadar dan memilih menekuni dunia yang sepi ini: menjadi seniman dan menjadi penulis.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Kepenulisan Happy Salma terwujud dalam kumpulan cerpen ini. Jumlahnya jauh di bawah rata-rata kumpulan cerpen yang sering aku baca: hanya 8 cerita.<br />
<br />
Diksinya kaku dengan bumbu bahasa yang minim, penuturannya terlampau sederhana. Masing-masing cerita selalu dalam jarak yang rapat, antara kakak-adik dan anak-ibu, sehingga cerita tidak terlalu berkembang dan tidak menawarkan sesuatu yang bisa dikenang atau sejenak hinggap di kepala yang membaca. Happy Salma seolah mengamini perkataan yang tercantum di lidah buku mengenai dirinya sendiri: "pada mulanya adalah kesahajaan" -- dan benar, kumpulan ini adalah kesahajaan semata.<br />
<br />
Meskipun demikian, Happy Salma masih berupaya menawarkan akhir cerita yang menawan. Kadang-kadang tidak tertebak, tapi ada juga yang mudah ditebak. Aku jadi ingat Regina Pernong, anak umur ke-16 tahun yang baru menulis. Ia juga punya cerita yang tidak tertebak ujungnya. Kurang lebih Happy mengusung format yang sama.<br />
<br />
Sempat aku berpikir Happy tidak akan menulis lagi, tapi ternyata ia sudah menerbitkan kumpulan cerpennya yang kedua, Telaga Fatamorgana, di tahun 2008 ini. Setidaknya ia serius.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">Pulang: Kumpulan Cerpen</span><br />
Karya Happy Salma<br />
<br />
Terbit November 2006 oleh Penerbit Koekoesan<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 979954525<br />
Tebal: 120 halaman<br />
Rating: 2/5Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-74819735721680288302011-06-23T01:05:00.000-07:002012-01-06T01:58:18.337-08:00Tarik-menarik Antara Kehidupan dan KematianSETELAH perkenalan yang mulus lewat karya pertama Haruki Murakami yang berjudul "Dengarlah Nyanyian Angin" , aku semakin mantap untuk menjajal novel kelimanya yang beken: "Norwegian Wood".<br />
<br />
Berbeda dengan novel pertamanya yang menceritakan tarik-menarik antara pemikiran tradisional Jepang dan pemikiran Barat yang modern di kalangan anak muda Jepang, tema novel ini kupikir merambah ke suatu yang jauh lebih dasar, bahkan menjurus ke sesuatu yang lebih filsafati: tarik-menarik antara kehidupan dan kematian dalam kacamata anak-anak muda yang menjadi tokoh ceritanya.<br />
<br />
Novel ini dimulai dengan kisah Toru Watanabe saat sedang berada di pesawat tujuan Jerman. Tiba-tiba saja gara-gara mendengar salah satu lagu Beatles berjudul "Norwegian Wood" dari stereo set pesawat, Toru Watanabe langsung teringat kejadian saat ia berusia 17-20 tahun.<br />
<br />
Ingatan bawah sadar itu tiba-tiba memuntah, memenuhi ingatannya, serta menghidupkan kembali Kizuki -- sohib karibnya yang mati bunuh diri di usia 17 dengan menghisap asap knalpot mobil ayahnya--, juga menghidupkan kembali Naoko -- pacar Kizuki yang akhirnya menjadi kekasih pujaan Toru, dan Midori -- perempuan yang dikenalnya belakangan di sela-sela kuliahnya sebagai mahasiswa jurusan drama di salah satu kampus di Tokyo, Jepang di akhir tahun 60-an sampai awal tahun 70-an.<br />
<br />
Toru yang polos, pemalu, tapi cerdas memasuki masa kedewasaan di dunia yang lazim disebut zaman-zaman kejayaan "buku, seks, dan rock 'n roll". Ia jatuh cinta pertamakali justru dengan bekas pacar temannya yang mati bunuh diri, Naoko dan dari sinilah mulai hubungan yang kacau ini.<br />
<br />
Naoko itu cantik, pendiam, tapi diam-diam terganggu keadaan emosinya sepeninggal Kizuki. Toru tak pernah dapat menduga apa yang berkecamuk di dalam pikiran Naoko. Tertekan secara emosional dan secara seksual, Naoko menarik dirinya sedikit demi sedikit ke dalam dirinya hingga akhirnya ia pindah ke tempat tetirah untuk menenangkan dirinya, dan bahkan menghabisi dirinya dengan gantung diri.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Sementara itu, Toru yang memuja Naoko secara kebetulan bersahabat dengan Midori yang periang, penuh rasa ingin tahu, dan sungguh nakal penggoda. Midori betul-betul kebalikan dari Naoko. Dengan kematian Naoko, Toru akhirnya paham bahwa cinta pertamanya adalah cinta yang tak mungkin dijalankan. Dengan memilih untuk melanjutkan hidup dengan Midori, Toru meninggalkan kenaifannya dan mulai menjalani hidupnya secara dewasa.<br />
<br />
Bagaimana tarik-menarik antara kematian dan kehidupan ini diceritakan dalam bungkus cerita cinta Toru dengan Naoko dan Midori itu karena menurutku karakter Naoko dan Midori menyimbolkan sesuatu yang lebih dalam maknanya.<br />
<br />
Sosok Naoko yang misterius dan pemalu merupakan figur romantis yang cocok bagi cinta pertama Toru. Sementara Midori yang lebih nyata, menyimbolkan cinta yang real, terjamah, dan menjanjikan. Dengan kata lain, Naoko berada di sisi "kematian", sedang Midori berseberangan, di sisi "kehidupan". Dalam pemikiran rasional, biasanya ini dijadikan pilihan, tetapi secara cerdas Haruki Murakami justru menulis "kematian bukanlah akhir dari kehidupan, tetapi merupakan bagian darinya". Justru lewat tarik-menarik itulah, situasi psikologis Toru digambarkan begitu detil sedemikian rupa sehingga emosi pembaca akan ikut terombang-ambing di antara dua pilihan yang ada.<br />
<br />
Setting yang dituliskan Murakami sekali lagi betul-betul cetakan realitas yang terjadi di Jepang tahun 70-an, dipilih dengan cermat, lewat bahasa penceritaan yang sederhana, tetapi mengalir sehingga aku sebagai pembaca mendapat gambaran yang jelas bagaimana situasinya. Yang luar biasa lagi dari cara penulisannya itu bagaimana ingatan dan mimpi dapat campur-baur membentuk realitas, sehingga jalan untuk membentuk kembali ingatan kita lewat proses mengingat kembali. Lihat bagaimana Toru yang berusia 37 tahun malahan lupa wajah Naoko, perempuan yang amat dicintainya itu. Nostalgianya justru menjadi wahana permainan yang menjebak pembaca di tengah-tengah sehingga sulit sekali menebak mana yang nyata dan mana yang bukan.<br />
<br />
Marilah sekarang menyoal beberapa hal yang sempat disinggung oleh teman-teman: bab terakhir "Norwegian Wood". Bagian yang paling menarik bukan bagian vulgar itu, tetapi bagaimana Haruki Murakami mengakhiri ceritanya: apakah dengan happy ending atau sad ending.<br />
<br />
Sementara pembaca mengira dengan kematian Naoko, otomatis dengan sendirinya Toru memilih Midori, tetapi dalam bab akhir sesungguhnya masih belum begitu jelas apakah demikian. Meskipun Toru menelpon Midori untuk menyatakan kesiapannya untuk menjalankan hidup bersama Midori, tetapi ketika di akhir cerita Toru justru seperti linglung, tidak tahu ada dimana, tidak bisa melihat orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya pantaslah diajukan prasangka: jangan-jangan Toru juga 'bunuh diri', 'meskipun bunuh diri secara metaforik', yang artinya ia tidak menjalani hidupnya dengan Midori. Bisa jadi ia tidak bisa memaafkan dirinya gara-gara berhubungan badan dengan Reiko dan justru merasa nyaman dan di awal cerita, toh Toru sudah berada di Jerman kan? Yang jelas, ending buku ini sebetulnya tidak jelas betul apakah happy ending atau sad ending. Semua dibiarkan menggantung.<br />
<br />
Oke, di akhir review ini aku mau berkisah tentang lima tipe kegilaan dari M. R. Bawa Muhaiyaddeen (“Five Common Types of Insanity”):<br />
<br />
"Pada sebuah persimpangan jalan di dekat taman, berdiri sebuah pohon yang teduh. Lima orang dengan lima jenis kegilaan duduk bersama di bawah pohon tersebut. Mereka berbicara dengan diri mereka sendiri. Bagi orang yang berlalu-lalang, lima orang ini terlihat sama, tetapi terdapat alasan yang berbeda atas kegilaan mereka.<br />
<br />
Orang gila pertama yang sakit jiwanya mengambil semua serpihan kertas dan lembaran daun kering yang ada di tanah dan meletakkannya di sekitar tangannya sembari mengoceh, “Kau pergi ke sini, kau pergi ke sana.”<br />
<br />
Orang gila kedua yang terobsesi oleh wanita mengambil semua serpihan kertas dan mengira bahwa kertas itu adalah surat cinta. Dia berkomat-kamit, “Kekasihku menulis ini, kekasihku menulis itu. Kekasihku berkata, ‘Aku akan datang kepadamu!’”<br />
<br />
Orang gila ketiga yang terobsesi pada uang mengambil semua serpihan kertas, melihatnya, membolak-baliknya, dan mengomel kepada dirinya sendiri, “Bank ini, bank itu. Rekening ini, rekening itu. Simpananku.”<br />
<br />
Orang gila keempat yang suka mabuk berjalan sempoyongan di jalan, menabrak orang lain dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Akhirnya, dia terjatuh tak sadarkan diri di jalan, dan maling merampok pakaiannya. Ketika dia sadar kembali dia begitu malu, sehingga dia kembali ke rumah, bertengkar dengan istrinya, dan menyalahkan keluarganya atas kesalahannya.<br />
<br />
Tetapi orang gila kelima yang terobsesi oleh kebijaksanaan mengambil sebuah daun kering yang telah mati dan tersenyum dengan sedih. “Sungguh indah ketika engkau masih bersatu dengan batangmu. Pada awalnya engkau adalah sebuah daun indah yang berwarna hijau yang menyejukkan orang lain. Kemudian engkau berubah menjadi kuning, dan saat ini warnamu menjadi sama dengan tanah. Engkau adalah daun kering yang akan kembali ke tanah sebagai pupuk. Setiap orang dan segala sesuatu akan mendapatkan takdir yang sama. Setiap orang dan segala sesuatu menjadi makanan bagi tanah.”<br />
<br />
“Sungguh inilah kehidupan! Oh Tuhan, aku mencari-Mu dan menjadi gila. Engkaulah satu-satunya dokter yang dapat menyembuhkan kegilaanku. Jika Engkau tidak datang, aku akan mati seperti daun ini. Engkaulah Tuhan yang menciptakan, melindungi, dan merawatku. Engkaulah Tuhan yang memahami dan mengerti akan diriku. Berikanlah aku obat rahmat, cinta dan kebijaksanaan-Mu dan penuhilah kebutuhan-kebutuhanku.”<br />
<br />
Makanya pikir-pikir dulu mau jadi orang gila bagaimana di dunia ini.<br />
<br />
Catatan pendek:<br />
1. Terjemahan Jonjon Johana harus diacungi jempol, meskipun ada beberapa salah ketik di bagian-bagian akhir.<br />
2. Tokoh-tokoh yang menarik macam Kopasgat, Reiko-san, Nagasawa-san sengaja tidak ditulis dalam review, tetapi sangat menarik untuk dibaca.<br />
<br />
DETIL BUKU <br />
<span style="font-weight: bold;">Norwegian Wood</span><br />
karya Haruki Murakami<br />
<br />
Terbit 2006 (pertama terbit 1987) oleh Kepustakaan Populer Gramedia<br />
Binding: Softcover<br />
ISBN: (isbn13: 0978979910033)<br />
Tebal: 554 halaman<br />
Karakter: Toru Watanabe, Naoko, Midori Kobayashi<br />
Penerjemah: Jonjon Johana<br />
Rating: 5/5Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-37011436833584927972011-06-22T07:13:00.000-07:002012-01-06T05:13:40.621-08:00Mengenali Haruki Murakami<span style="font-style: italic;">"Dibanding alam semesta yang njelimet, dunia kita ini hanya seperti otak cacing." (Derek Heartfield)</span><br />
<br />
NOVEL ini mengawali perkenalan yang sangat baik akan penulis yang dijuluki oleh Times sebagai penulis beken abad ini Haruki Murakami. Memang novelnya yang lain seperti Norwegian Wood (sudah diterbitkan oleh Penerbit KPG) dan Kafka On The Shore sudah cukup lama terbit di Indonesia. Tapi aku sendiri baru mengawalinya justru bukan dengan membaca novel kelima Haruki Murakami Norwegian Wood yang sudah mashyur itu, tapi dengan novel pertamanya ini: Dengarlah Nyanyian Angin (Kaze No Uta O Kike) yang langsung mendapat penghargaan Gunzo Literary tahun 1979.<br />
<br />
Karya debutan ini konon muncul di musim semi tahun 1974, saat Murakami sedang menonton pertandingan bisbol. Tiba-tiba dia mendapat inspirasi dan segera menulis novel pertamanya ini, sebuah novel yang bagiku ringan, keluar dari tradisi novel ala Yanusari Kawabata atau Mishima yang kaku.<br />
<br />
Entah ya, penilaianku ini mungkin berdasar pada cerita yang disodorkan Murakami dalam novel pertamanya ini. Betul-betul cerita sehari-sehari, anak muda sekali obrolannya, yang kadang serius, tapi seringkali konyol. Mungkin orang lain bisa menganggapnya terlalu 'pop', sampah remeh temeh, dan kebarat-baratan (merujuk pada perilaku lho ya...) Kekonyolannya bisa dilihat dalam satu kalimat ini: <span style="font-style: italic;">"Perempuan ketiga yang tidur denganku menyebut penisku raison d'etre kamu." (hal. 85)</span><br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Novel ini bercerita tentang tokoh aku: seorang anak muda, suka membaca dan musik, dari kuliah dia sudah terobsesi menjadi penulis gara-gara seorang penulis Amerika bernama Derek Heartfield, namun sampai umur 29 dan menikah, tak satupun novel yang ia tulis. Ia punya teman, bernama Nezumi yang dalam bahasa Jepang artinya tikus. Anak orang kaya tapi risih dengan kenyataan itu, lalu banting setir untuk mabok-mabokan hampir setiap hari di Jay's Bar bersama si aku, ngobrol nggak jelas, namun di kemudian hari malahan dia yang jadi novelis. Padahal awalnya dia benci baca buku. Lalu ada perempuan-perempuan yang menjadi pacar si aku: perempuan pertama, perempuan kedua, dan perempuan ketiga.<br />
<br />
Derek Heartfield yang dikagumi tokoh aku adalah penulis Amerika yang tidak tersohor. Dia seangkatan Hemingway dan Fitzgerald. Lahir 1909, tapi tahun 1938 bunuh diri dengan cara yang spektakuler: lompat dari gedung Empire State sambil mendekap foto Adolf Hitler di tangan kanan dan memegang payung hitam terbuka di tangan kiri. Tapi entah bagaimana ia punya pengagum.<br />
<br />
Ya, salah satunya tokoh aku dalam novel ini -- yang sering diasosiasikan orang sebagai personifikasi Haruki Murakami sendiri.<br />
<br />
Ada alasannya. Si aku dalam novel ini suka musik, sama seperti Haruki Murakami yang punya koleksi lebih dari 7.000 piringan hitam di flatnya. Di dalam novel ini, si aku membaca:<br />
1. What's So Bad About Feeling Good? - Derek Heartfield<br />
2. Sentimental Education - Gustav Flaubert<br />
3. A Cat in The Hot Tin Roof - Tennesse William<br />
4. Witch - Jules Michelet<br />
5. The Brothers Karamazov - Fyodor Dostovesky<br />
6. A Well in Mars - Derek Heartfield<br />
<br />
Bacaan-bacaan itu kurang lebih sama seperti yang ditekuni Haruki Murakami saat kuliah. Literatur Barat dan musik Barat memenuhi isi kepalanya, maka tidak heran sebenarnya bila kesan kebarat-baratan itu muncul.<br />
<br />
Tapi hey, ini Jepang lho! Jepang sekarang tak ubahnya negara-negara lain yang juga dilanda hegemoni kebudayaan Amerika. Sistem pertanda yang tradisional sudah lama ditinggalkan, kalaupun ada cuma untuk konsumsi turis seperti tradisi minum teh hijau dan lain sebagainya. Jepang di masa Haruki Murakami muda adalah Jepang yang berubah. Anak-anak mudanya suka ngebir, musik Barat dan film-film Barat. Makanya, tidak heran bila penggemar Murakami adalah anak-anak muda, karena mereka dapat merefleksikan diri mereka dalam karya-karya Murakami. Mereka semua sudah masuk dalam pola pikir tradisi Jepang itu membosankan, dan emoh dengan obsesi akan kapitalisme negara Jepang.<br />
<br />
Judul ini tampaknya diinspirasi oleh salah satu karya Derek Heartfield yang berjudul A Well in Mars. Ceritanya tentang seorang astronot yang berniat menghabiskan hidupnya dengan masuk ke sumur di dalam planet Mars yang begitu dalam. Sumur itu ia masuki, tapi akhirnya ia keluar dari sisi lain sumur. Saat ia menembus, sebenarnya sudah 1,5 abad ia lewati dan matahari sudah dalam kondisi sekarat. Di saat itulah ia bertemu mahluk Mars yang muncul dalam bentuk angin. Ah, aku kok jadi penasaran sama karya-karya Derek Heartfield ini.<br />
<br />
Meskipun aku yakin akan ada yang bilang novel ini membosankan, datar, tapi aku enjoy-enjoy saja membacanya. Malah ada bagian yang paling aku suka: yakni saat radio NEB menyiarkan acara Pop Telephone Request. Penyiarnya gokil!!!<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">Dengarlah Nyanyian Angin</span><br />
karya Haruki Murakami<br />
<br />
<br />
Terbit Oktober 2008 oleh Penerbit KPG<br />
Cetakan pertama Kaze No Uta O Kike 1979<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: - (isbn13: 9789799101372)<br />
Tebal: 147 halaman<br />
Karakter: aku, Nezumi | Setting: Jepang<br />
<br />
<br />
Penerjemah: Jonjon Johana <br />
Rating: 4/5Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-5806829066941630972011-06-22T07:12:00.000-07:002012-01-06T05:02:08.839-08:00'Membaca' Sketsa, Membaca MasyarakatBUKU ini sebenarnya pemberian kepada istriku, yang sengaja melepaskan dunia kearsitekturannya dan memilih pada dunia pendidikan. Sang pemberi mungkin bermaksud agar istriku tidak melupakan dunia yang pernah mewarnai hidupnya itu. Demikian maksud sang pemberi itu kusampaikan pada istriku di suatu malam. Lalu pertanyaan ajaib muncul dari istriku: "Lha, kok aku yang dikasih? Kamu yang temannya kok malah nggak diberi?" Aku garuk-garuk kepala... Maka jadilah buku ini kami sepakati untuk dibaca berdua.<br />
<br />
Buku ini memiliki judul yang atraktif: "2x50=100". Buku tentang berhitung? Oh tentu tidak. Lebih lengkap, buku ini berjudul "2 eyes x 50 years = 100 sketches". Cool. 2 mata siapa dan 50 tahun siapa? Pertanyaan itu baru terjawab ketika lembaran itu kita buka, inilah kado persembahan 50 tahun dari seorang arsitek Yogya yang terkenal Eko Prawoto. Isi kado persembahan itu adalah 100 sketsa yang dipilih oleh Eko dan sejumlah sejawatnya (yang barangkali sesama dosen UKDW Yogyakarta).<br />
<br />
Bagaimana membaca buku ini? Secara fisik, tidak ada aksara yang malang melintang dalam buku ini, kecuali bagian pengantar yang diisi oleh seorang kurator seni (lho kok?) dan 2-3 orang terdekatnya. Pada bagian sketsa, terdiri dari bagian kanan berisi sketsa saja dan bagian kiri berisi penjelasan/caption atas sketsa itu. Karena berisi sketsa, aku dengan senang hati membolak-baliknya dan mulai dari bangunan yang aku kenal lebih dulu: tamansari, seputaran malioboro, dan lain-lain yang ada di kota Yogya. Baru kemudian, aku lihat sketsa rumah/kuil di Jepang, duplex yang ada di Sydney, bangunan bersejarah Aya Sofya yang ada di Turki, dan tempat-tempat lain.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Eko Prawoto memang memiliki kejelian dan mata yang tekun mencermati tempat-tempat yang aku sebutkan tadi dan mungkin tempat lain (yang tak masuk dalam buku ini). Ia seolah menelanjangi bangunan yang tua, untuk melihat bahwa tak melulu misalnya sebuah bangunan harus dibuat dari bahan material yang sama. Atau pemanfaatan ruang tidak melulu harus keluar dari tangan terampil seorang arsitek, karena penyusunan warung di sebuah gang itupun sudah mencerminkan pemanfaatan ruang meskipun dilakukan dengan secara paling sederhana.<br />
<br />
Mata Eko Prawoto menyalin situasi-situasi real itu ke dalam media kertas dengan pena. Kegiatan yang dilakukan di luar ini kadang-kadang memicu kreativitas baru. Saat satu kali ia menggambar Tamansari di Yogya, tiba-tiba gerimis dan air gerimis membuat tinta pena mbleber. Tapi mlebebernya tinta pena itu justru jadi cara baru membuat bayangan pada sketsa disamping teknik arsiran.<br />
<br />
Pengamatan yang paling menarik dari buku ini adalah salinan atas lorong-lorong pemukiman di Yogya. Khususnya bagaimana Eko Prawoto mencoba teliti melihat arti "gang" dalam sebuah komunitas. Gang adalah sebuah tempat pertemuan antara yang privat dan yang publik untuk rumah-rumah petak kecil di Yogya. Menarik sekali.<br />
<br />
Semua sketsa itu kubaca sampai usai dan akhirnya menerbitkan sebuah pertanyaan: Eko Prawoto itu sebenarnya arsitek atau visual artist sih? Lalu pertanyaan itu kuformulasikan kepada istriku dengan pertanyaan ini: "Apakah semua arsitek bisa menggambar sketsa? Apakah guna sketsa buat arsitek?" Lalu istriku bilang, "Sketsa memang berguna untuk arsitek, tetapi bukan sketsa artistik seperti ini." Sketsa artistik?<br />
<br />
Lalu aku ingat obrolan yang entah kapan pernah terjadi dengan istriku: memaknai kegiatan arsitektur sebagai bagian dari produk budaya atau bagian dari produk engineering. Memang tergantung paradigmanya, tetapi menangkap apa yang diucapkan oleh istriku, aku pikir apa yang disebut sketsa artistik itu pada akhirnya masuk ke paradigma produk budaya.<br />
<br />
Apa yang hendak diusung oleh Eko Prawoto dengan menerbitkan buku ini dan membiayai dari kantongnya sendiri? Terus terang aku kurang tahu. Andai ada sedikit pengantar dari Eko Prawoto sendiri dalam buku ini dan bukan diwakili oleh para sejawatnya, barangkali akan sedikit ada titik terang. Tapi kira-kira aku menduga ini: murid dari almarhum Y.B Mangunwijaya --yang pernah diganjar Aga Khan Award ini untuk karya perumahan di tepi kali Code-- barangkali sedang melakukan pendokumentasian sekaligus pencarian akar budaya. Dan proses pencarian itu, dan penerapannya tidak hanya sekadar memoles dan mengambil dari masa lalu, tetapi menggali dari nilai-nilai lokal yang masih bisa diambil dan mengembangkannya.<br />
<br />
Mungkin ia sedang membagikan pengamatannya kepada arsitek-arsitek lain, bahwa apa yang manual dan kesannya low technology, menurut dia adalah keunikan tersendiri. Bahwa arsitektur harus berangkat dari pengamatan akan komunitas yang tinggal di dalamnya, bukan sebagai sekedar mendirikan sebuah bangunan tunggal yang soliter.<br />
<br />
Terlepas dari benar salahnya dugaan itu, aku menemukan sebuah kesenangan baru. Ternyata "membaca" sketsa bisa sangat menyenangkan.<br />
<br />
DETIL BUKU <br />
<span style="font-weight: bold;">2x50=100</span><br />
karya Eko Prawoto<br />
<br />
Terbit 2008 oleh Duta Wacana Christian University Press<br />
Binding: Art paper - Softcover<br />
ISBN: 9798139941<br />
Halaman: 240<br />
Rating: 4/5Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-59420917530840290862011-06-22T07:11:00.001-07:002012-01-06T05:14:14.173-08:00Pencarian Jawaban Atas Hidup dan MatiWAKTU kumpulan cerpen Godlob aku baca di masa remaja, orang belum menyebut karya Danarto sebagai realisme magis, seperti yang disesumbarkan oleh penerbit Banana di sampul belakang buku ini. Kira-kira orang masih menyebut Danarto itu pengarang cerita ajaib. Dan oleh orang-orang yang lebih tua, termasuk oleh Pak Gunawan guru Sastra-ku, Danarto lewat Godlob dianggap puncak tertinggi penulis cerpen masa itu. Kehebatan Danarto dalam setiap cerpennya adalah tingginya keliaran imajinasi, punya kejutan dahsyat yang berlompatan dari realita awal cerita yang datang seperti hantu, tak terduga datangnya.<br />
<br />
Tapi baiklah aku telan dulu sebutan 'pelopor sastra realisme magis' yang ternyata pemberian Akmal Nassery dari Koran Tempo itu pada Danarto lewat kumpulan cerpen Kacapiring ini. Karena realisme magis disebut-sebut, mau tidak mau aku harus menyebutkan dua orang sastrawan yang juga mengusung tema serupa: Gabriel Garcia Marquez dan Ben Okri. Dua-duanya pengarang favoritku. Soal itu di akhir nanti dibahas lagi.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Kumpulan Kacapiring dibuka Danarto dengan sebuah cerita berjudul "Jantung Hati". Isinya tentang seorang laki-laki yang mendadak mati kena serangan jantung ketika sedang mengejar teroris. Saat mati, ia bertemu dengan malaikat Izrail, tapi kemudian tercerahkan ketika mendapati bahwa ternyata kematian itu sangat indah dan tidak mengerikan.<br />
<br />
Lalu mengalirlah cerita-cerita lain yang tak kalah ajaib, seperti "Lailatul Qadar" tentang perjalanan mudik keluarga arsitek yang sedang terkena macet, tiba-tiba melihat ada jalan kosong yang tak dilihat oleh orang lain, sehingga mereka bisa berlebaran dengan selamat di kampung halaman.<br />
<br />
Makin lama, cerita dalam kumpulan ini makin menarik. "Lauk dari Langit" misalnya, menceritakan satu keluarga petani miskin yang tinggal di atas bukit tak bertuan. Tiba-tiba di satu pagi, mereka mendapat karunia hujan ikan dari langit. Begitu banyaknya, sampai-sampai mereka kebingungan hendak diapakan ikan-ikan tersebut. Saat mereka punya ide untuk menjual saja ikan-ikan itu ke pasar dan kemudian ayah dan anak itu membawa ikan itu ke kota, mereka terkejut luar biasa, melihat di bibir bukit bahwa kota mereka telah musnah dan mayat-mayat telah bergelimpangan.<br />
<br />
Membaca cerita ini, sodoran realitanya jelas adalah Aceh saat digempur tsunami. Ada 2 cerita lain yang berangkat dari realita tsunami Aceh: "Nistagmus" dan "Pohon yang Satu itu".<br />
<br />
Cerita "Nistagmus" paling aku suka karena karakter tokohnya yang aneh: ia seorang penulis obituari. Sedang nistagmus sendiri artinya 'gerakan mata yang cepat tanpa disengaja, di luar kemauan. Ini juga salah satu ciri khas Danarto karena suka memberi judul yang asing dan aneh. Godlob itu juga aneh dan asing kan?<br />
<br />
Yang menarik di ujung kumpulan ada cerpen berjudul "Alhamdulilah Masih Ada Dangdut dan Mie Instant." Di cerpen ini, Danarto mendongeng tentang Slamet yang jatuh bangun hidupnya mulai dari sebelum kemerdekaan hingga masuk ke zaman reformasi. Lewat Slamet, Danarto memberi catatan dan kritik kepada pemerintah yang kerap menindas rakyatnya dengan mengatasnamakan kepentingan negara.<br />
<br />
Garis merah kumpulan cerpen Godlob adalah pencarian akan Tuhan, lewat serempetan sufisme Jawa. Sedang Kacapiring adalah pencarian jawaban atas hidup dan mati. Bagi Danarto, hidup adalah sebuah pertanyaan yang panjang. Sedang kematian sudah jelas: indah dan tidak mengerikan.<br />
<br />
Lalu soal 'realisme magis'-nya, pada akhirnya aku pikir memang tidak berlebihan disematkan pada Danarto. Realisme cerita Danarto di kumpulan cerpennya memang makin lama makin kuat dibanding cerpen-cerpen terdahulunya. Sementara kekuatan magisnya selalu menjadi unsur pengejut yang tak bisa diduga --yang sayang bila dibandingkan dengan Ben Okri dan Gabriel Garcia Marquez, magis-nya Danarto masih kalah liar dan binal. Namun biar bagaimana, aku tetap menyukai kumpulannya yang ini.<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">Kacapiring: Kumpulan Cerpen</span><br />
karya Danarto<br />
<br />
Terbit Juni 2008 oleh Banana Publisher<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: - (isbn13: 9789791299022)<br />
Tebal: 160 halaman<br />
<br />
Rating: 4/5.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-56197297976226638862011-06-20T23:57:00.001-07:002012-01-06T05:07:55.869-08:00Sumpah Yang Kehilangan Nilai SakralSEBUAH pesan singkat kuterima malam sebelum tanggal 28 Oktober 2008. Isinya begini: Persatuan Indonesia di tangan kita! Mari rayakan 80 tahun Sumpah Pemuda dengan mengenakan nuansa merah putih, Selasa 28 Oktober 2008. Mohon forward ke teman2 lain. Ealah...<br />
<br />
Ada yang menggelitik pikiranku setelah membaca isi pesan singkat itu. Sederhana saja. Apakah setelah 80 tahun sumpah itu dibuat, sumpah itu masih punya makna sakral bagi para pemuda sekarang? Apakah dengan bernuansa merah putih seperti baju yang kukenakan hari ini, dengan serta merta persatuan di Indonesia terjadi? Apakah tantangan yang dihadapi pemuda di zaman 1928 masih aktual di tahun 2008 ini?<br />
<br />
Lalu aku ingat buku ini, yang diterjemahkan dari tulisan Keith Foulcher di jurnal Asian Studies Review edisi September 2000, “Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood”. Dan begitu cepat dalam tempo 1 bulan setelahnya, sudah diterbitkan oleh Komunitas Bambu yang dikomandani oleh J.J. Rizal, dosen sejarah di FIB Universitas Indonesia. Buku ini kecil, tapi bernas seingatku. Nah, tampaknya dia minta dibaca ulang tadi malam karena aku lupa beberapa detilnya.<br />
<br />
Dalam buku ini, sejarah Sumpah Pemuda ditulis secara runut, sesuai kronologi waktu mulai dari tahun-tahun menjelang Kongres Pemuda II di akhir bulan Oktober 1928 (masa kolonial), masa kemerdekaan, masa Orde Lama, masa Orde Baru hingga Reformasi. Secara kasat mata, Keith menunjukkan bahwa sejarah Sumpah Pemuda sebagai simbol nasional banyak tersangkut paut pada konteks ideologi, kepentingan penguasa.<br />
<br />
Adalah Muhammad Yamin, pemuda 25 tahun yang menjadi pemimpin Jong Sumatranen Bond dan anggota dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia menyodorkan resolusi yang dihasilkan Kongres Pemuda II di bulan Oktober 1928.<br />
<br />
<span style="font-style: italic;"></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-style: italic;">Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia<br />
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia<br />
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoen, bahasa Indonesia</span><br />
<br />
Inilah rumusan asli yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda. Sebagaimana sumpah yang lain, sumpah yang ini dinilai sakral yang barangkali bisa disejajarkan dengan Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan oleh Gajahmada. Nilai sakralnya itu mengikat bukan saja oleh para peserta Kongres Pemuda II, tetapi semua pemuda yang ada di nusantara pada waktu itu, yang jelas-jelas masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Dan segera dapat terbayang, dampak sumpah tersebut.<br />
<br />
Isi sumpah yang pertama dan kedua dapat mereka terima dengan gembira. Tapi isi sumpah yang ketiga, mereka kagok. Betapa terbata-batanya para pemuda terpelajar pada tahun 1928 itu untuk berbahasa Indonesia -- maklum hanya bahasa Belanda yang mereka kenal dan bahasa daerahnya saja yang mereka kuasai. Sedang bahasa Indonesia yang disodorkan Muhammad Yamin hanya fasih dikuasai oleh mereka yang sudah belajar bahasa Melayu. Saking terbata-batanya, banyak peserta kongres yang masih tetap menggunakan bahasa Belanda untuk menyampaikan pokok pikirannya dalam Kongres Pemuda II itu. Sampai-sampai disindir oleh Van der Plas (pengamat resmi dari Belanda) bahwa Soegondo Djoejopoespito pemimpin Kongres sendiri tidak becus berbahasa Indonesia. Namun tekad para pemuda sudah bulat. Berbahasa Indonesia adalah harga mati bagi mereka -- karena ini mewakili perpisahan simbolis dari bahasa kolonial. Bahkan ada peserta yang mengaku malu karena ia sendiri sebagai anak Indonesia tidak bisa berkata dalam bahasa sendiri. Hanya dalam tempo dua bulan setelahnya, bahasa Indonesia sudah digunakan dalam berbagai kongres termasuk pada kongres perempuan nasional.<br />
<br />
Pada tahun 1949, isi sumpah pemuda sedikit dimodifikasi. Agaknya disesuaikan dengan semangat perjuangan para pemuda pada waktu itu. Begini isi sembojan perjuangan 1949 itu:<br />
<br />
<span style="font-style: italic;">Satu bangsa - bangsa Indonesia<br />
Satu bahasa - Bahasa Indonesia<br />
Satu Tanah Air - Tanah Air Indonesia<br />
Satu Negara - Negara Indonesia</span><br />
<br />
Tambahannya ada pada kata "Satu negara" yang menurut Armijn Pane hanya memperlihatkan ketegasan dari apa yang sudah dirumuskan sebelumnya pada yang dilakukan oleh para pemuda pada tahun 1928.<br />
<br />
Lalu pada zaman Orde Lama, isi sumpah pemuda berubah lagi menjadi:<br />
<span style="font-style: italic;">Kami putra-putri Indonesia mengakui satu tanah air, tanah air Indonesia<br />
Kami putra-putri Indonesia mengakui satu bangsa, bangsa Indonesia<br />
Kami putra-putri Indonesia mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia</span><br />
<br />
Dan dengan rumusan yang ini, Soekarno menggunakan Sumpah Pemuda sebagai alat ideologis untuk memukul gerakan separatisme dan federalisme. Soekarno menekankan sisi sakral dari sumpah tersebut dan menyebut orang yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia adalah para pendurhaka, seperti terkutip dalam isi koran Merdeka tahun 1958 ini:<br />
<br />
"Presiden Sukarno menjatakan dengan tegas, bahwa kalau ia seperti Achmad Husein, Simbolon, Somba dan Warouw, ia akan merebahkan diri di dalam hutan dan minta ampun kepada Allah SWT, karena ia telah mendurhakai kemerdekaan bangsa Indonesia dan mendurhakai Sumpah Pemuda jang kramat itu."<br />
<br />
Ganti rezim, ganti pemaknaan Sumpah Pemuda. Di zaman Orde Baru, sering didapati tema-tema perayaan seperti ini:<br />
Dengan semangat Sumpah Pemuda, kita tingkatkan disiplin dan kualitas Generasi Muda Indonesia untuk memantapkan kerangka landasan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila<br />
<br />
Pada zaman Orde Baru, tekanan ideologinya ada pada disiplin, stabilitas dan pembangunan. Bahwa isi Sumpah Pemuda sudah tidak dikutak-katik lagi, tetapi ia diterakan untuk menyokong program-program pemerintah yang kurang lebih bermakna: pemuda harus satu menyokong pemerintahan Orde Baru. Sumpah Pemuda dijadikan alat refleksi sempit untuk bertanya kepada para pemuda apakah mereka sungguh sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar?<br />
<br />
Muak dengan Orde Baru, perjuangan para pemuda berganti. Rumusan nyeleneh pernah muncul di kalangan mahasiswa pendemo dengan bunyi sebagai berikut:<br />
Kami Mahasiswa Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan<br />
Kami Mahasiswa Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan<br />
Kami Mahasiswa Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa kebenaran<br />
<br />
Lalu Soeharto digantikan oleh Habibie. Di zaman Habibie, pemaknaan atas Sumpah Pemuda beralih lagi dari konteks aslinya. Habibie menekankan soal kemajemukan (tidak satu) dalam hidup berbangsa dan bernegara, yang menurutnya tidak akan mengancam persatuan dan kesatuan.<br />
<br />
Di zaman yang terus berubah ini, di era ketika hegemoni budaya asing telah melingkupi semua kita dengan nama-nama yang keren seperti Harajuku, American Way dan perlintasan ideologi yang karut-marut entah apa yang mau diperjuangkan lagi, apakah pesan singkat tadi benar-benar punya makna? Atau jangan-jangan semata seremonial saja. Aku yang tadinya tergelitik, kini malah sudah jatuh terpingkal-pingkal.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Atas Simbol Kebangsaan Indonesia</span><br />
karya Keith Foulcher<br />
<br />
<br />
Terbit November 2000 oleh Penerbit Komunitas Bambu<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 9799201021 <br />
Tebal: 83 halaman<br />
Rating: 4/5Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6012529010193103695.post-18284767124597932012011-06-20T23:56:00.000-07:002012-01-06T05:10:08.972-08:00Ketika "Man of Letters" menuliskannya untuk kita...KALI terakhir aku membaca Sindhunata adalah lewat kolom-kolom ulasan sepakbolanya di harian nasional Kompas (yang kemudian dibukukan). Itu pun caranya menulis sudah memukau. Begini pernah ditulisnya: "Sepak bola bukan sekadar permainan keras. Sepak bola juga bagian dari alam rasa." Lalu Sindhunata bercerita tentang kaitan sepakbola dengan musik. Dituliskannya banyak pemain-pemain dan pelatih kesebelasan dunia menyukai musik dan musik itu membantu semangat timnya untuk menang. Ada yang suka musik klasik, tapi ada juga yang suka musik rock.<br />
<br />
Terlepas dari suka tidaknya orang pada caranya menulis kolom sepakbola, ciri tulisan Sindhunata telah tertera jelas: ia mampu menghidupkan aktivitas 22 orang yang berebutan bola putih bundar itu jadi lebih dekat dan manusiawi. Ciri ini ternyata memang sudah tampak dari tulisan feature-nya yang sudah hilir-mudik sejak tahun 1979, seperti yang terdapat pada kumpulan featurenya yang berjudul Segelas Beras untuk Berdua ini.<br />
<br />
Cerita Mbok Tukinem yang buta, bukankah sedemikian hidup sehingga seolah-olah Mbok Tukinem sendiri sedang bercerita di depan hidung kita? Pak Guno guru STM? Johanna istri Douwes Dekker yang di akhir hayatnya malah kesepian dan miskin? Bukankah sepertinya diri ini ikutan dikutuk karena tidak ikut serta dalam pemakamannya dan mendoakannya?<br />
<br />
Sejak karyanya yang klasik Anak Bajang Menggiring Angin, aku pikir tidak berlebihan bila orang menyebut Sindhunata sebagai puncak kecerdasan berbahasa. Ia memang "Man of Letters", yang total dan setia membaktikan hidupnya bertekun di semak belukar makna huruf-huruf. Ia menaruh ruh di setiap huruf agar setiap huruf itu mengetuk-ngetuk hati pembacanya, bahkan pembaca seperti batu pun akan menitikkan air mata membaca feature-feature yang ia tuliskan di buku ini.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Beberapa kali aku usapkan tisu ke mata, saat membaca kisah hidup yang dituliskan di buku ini. Seperti pada cerita mbok Tukinem tadi. Sudah matanya buta, suaminya sakit, anaknya kok meninggal semua karena sakit panas. Ealah... hidup begitu bisa seperti itu. Sajak dari Federico Garcia Lorca menjadi gong yang menggoncang pembacaanku:<br />
<br />
Tangis adalah kesempurnaan para malaikat<br />
Irama bunyi dari musik, dari biola<br />
Takkan pernah ia dapat diukur manusia.<br />
<br />
(hal. 162)<br />
<br />
Membaca kepedihan hidup orang-orang yang ditulis Sindhunata, pada akhirnya membuatku bertanya-tanya: apakah aku masih perlu merasa diri sebagai orang yang kurang beruntung? Apakah aku masih perlu mengasihani diri sendiri? Rasanya tidak. Setuju?<br />
<br />
DETIL BUKU<br />
<span style="font-weight: bold;">Segelas Beras untuk Berdua</span><br />
karya Sindhunata<br />
<br />
Terbit November 2006 oleh Penerbit Kompas<br />
Binding: Paperback<br />
ISBN: 9797092771<br />
Tebal: 188 halaman<br />
Rating: 4/5Unknownnoreply@blogger.com0