Memoar Puisi Untuk Mengabadikan Pertemanan

Biru Hitam Merah Kesumba
Karya Olin Monteiro, Lulu Ratna, Oppie Andaresta dan Vivian Idris

Terbit Desember 2006 oleh Kelompok Perempuan Bukan Penyair | Binding: Paperback | ISBN: 9791546002 | Halaman: 120

ADA sebuah kesadaran baru yang muncul setelah membaca buku ini: bahwa "berteman itu penting". Lho, lalu apa hubungannya dengan buku yang berjudul serba warna ini? Wah, ternyata menurut Olin Monteiro, Oppie Andaresta, Lulu Ratna, dan Vivian Idris banyak hubungannya.

Dalam buku ini, keempat teman baik berkolaborasi untuk mengumpulkan puisi-puisi mereka, anak rahim pemikiran mereka, lalu menerakannya pada lembar-lembar kertas dan tinta cetak agar abadi. Tujuannya, belum tentu ketenaran karena paling tidak dua orang di antaranya yakni Oppie Andaresta dan Lulu Ratna sudah jauh lebih terkenal sebelum buku ini dicetak. Tujuannya kalau saya boleh menerka, ya itu tadi mengabadikan "pertemanan" mereka.

Jadi itu sebabnya, aku justru paling tertarik dengan kisahan bagaimana mereka menjadi teman di halaman 117 (hampir di buntut, padahal harusnya di awal saja). Ternyata Oppie pernah menabrak mobil ayahnya Vivian. Lalu Oppie dan Olin kuliah sama-sama di IISIP. Karena nongkrong di Potlot, Lulu pun akhirnya kenal Oppie. Gara-gara ngurusin film, Lulu, Oppie, dan Olin pernah ketemuan. Dan akhirnya Vivian bertemu dengan wajah si penabrak ayahnya.

Soal puisinya? Nah ini juga menarik... Karena keempatnya beda latar belakang, kita jadi tahu karakter masing-masing. Olin misalnya adalah perempuan yang sadar akan bentuk puisi seperti pada puisi "Marah & Hormon" dan "Sepi Memang Sepi". Ia menulisnya dengan bangunan struktur. Keindahannya ada pada struktur.

sepi
dengarkan desau angin awal Mei
saat petani
siap menuai panen
hasil keringat sekian lama

sepi
temani hari antara buaian kelapa
hijau daun jadi coklat
sawah rimbun di kejauhan
asap debu truk lewat


Lain Olin, lain Lulu. Lulu yang lulusan antropologi, nampaknya senang pada pencatatan serba sosio-antropologis yang mirip monografi. Lulu yang pengamat sekaligus perupa visual mencoba menuangkan perjalanannya ke dalam bait-bait puisi seperti dalam puisi "Blok M-ku".

lantai 1 jual pakaian dan alat-alat tulis
lantai 2 tempat obat dan kelontong
lantai 3 dan 4 cabang departement store murah meriah
...
kini semuanya hilang sudah
dimakan api dua hari lalu


Bagaimana dengan Oppie Andaresta, penyanyi itu? Dalam kacamata bacaku, Oppie paling sering mendudukkan diri sebagai perempuan yang juga manusia. Itu ia tegaskan pada salah satu puisinya berjudul "Karena Aku Manusia". Seperti juga lagunya, puisinya pun bernafaskan kritik sosial. Misalnya bagaimana sering ia memunculkan tokoh bernama Midah, yang mewakili para TKI, dan menyuarakan mereka dalam puisi.

Nah, tinggal Vivian Idris. Aku suka peranan yang ia ambil. Ia seperti tidak ingin memposisikan diri di awal. Ia bisa kita temui sebagai ibu, sebagai pembangkang, sebagai perempuan. Macam-macam, seolah ia hendak menunjukkan... inilah aku Vivian! Puisi-puisinya terasa jujur sekaligus beremosi.

Baca pembangkangannya dalam puisi berjudul "Awas" ini:

Hari ini aku panah yang lepas
menerabas jalan-jalan kota
menerbangkan debu-debu jalan
mengacaukan tenang daun-daun
menyambar api yang kusematkan di rambut-rambut kota
dan menari diiringi lagu kebangsaan
tuhan, bapak, ibu

aku ingin membangkang


Di samping karakter-karakter yang muncul dalam puisi-puisi personal mereka, pertemanan dan kisah hidup mereka pun mereka tuangkan dalam puisi. Coba baca puisi Oppie untuk Lulu yang akan menikah dalam "Lulu Nikah" atau curhatan Lulu tentang Beng Rahadian dalam "My Spiritual Journey".

Pendeknya, aku tak mau menyaingi telaah Seno Gumira dan Iman Budhi Santosa yang didaulat oleh mereka untuk memberi pengantar pada buku ini. Buku yang layak disebut memoar puisi akan pertemanan ini cukuplah dibaca, sekedar pengingat bahwa "pertemanan itu penting". Yuk berteman...

3/5

0 balasan:

Posting Komentar

 
Konten blog Fans Berat Buku bersifat personal.
Template Blogger Theme dari BloggerThemes Desain oleh WPThemesCreator