Tarik-menarik Antara Kehidupan dan Kematian

SETELAH perkenalan yang mulus lewat karya pertama Haruki Murakami yang berjudul "Dengarlah Nyanyian Angin" , aku semakin mantap untuk menjajal novel kelimanya yang beken: "Norwegian Wood".

Berbeda dengan novel pertamanya yang menceritakan tarik-menarik antara pemikiran tradisional Jepang dan pemikiran Barat yang modern di kalangan anak muda Jepang, tema novel ini kupikir merambah ke suatu yang jauh lebih dasar, bahkan menjurus ke sesuatu yang lebih filsafati: tarik-menarik antara kehidupan dan kematian dalam kacamata anak-anak muda yang menjadi tokoh ceritanya.

Novel ini dimulai dengan kisah Toru Watanabe saat sedang berada di pesawat tujuan Jerman. Tiba-tiba saja gara-gara mendengar salah satu lagu Beatles berjudul "Norwegian Wood" dari stereo set pesawat, Toru Watanabe langsung teringat kejadian saat ia berusia 17-20 tahun.

Ingatan bawah sadar itu tiba-tiba memuntah, memenuhi ingatannya, serta menghidupkan kembali Kizuki -- sohib karibnya yang mati bunuh diri di usia 17 dengan menghisap asap knalpot mobil ayahnya--, juga menghidupkan kembali Naoko -- pacar Kizuki yang akhirnya menjadi kekasih pujaan Toru, dan Midori -- perempuan yang dikenalnya belakangan di sela-sela kuliahnya sebagai mahasiswa jurusan drama di salah satu kampus di Tokyo, Jepang di akhir tahun 60-an sampai awal tahun 70-an.

Toru yang polos, pemalu, tapi cerdas memasuki masa kedewasaan di dunia yang lazim disebut zaman-zaman kejayaan "buku, seks, dan rock 'n roll". Ia jatuh cinta pertamakali justru dengan bekas pacar temannya yang mati bunuh diri, Naoko dan dari sinilah mulai hubungan yang kacau ini.

Naoko itu cantik, pendiam, tapi diam-diam terganggu keadaan emosinya sepeninggal Kizuki. Toru tak pernah dapat menduga apa yang berkecamuk di dalam pikiran Naoko. Tertekan secara emosional dan secara seksual, Naoko menarik dirinya sedikit demi sedikit ke dalam dirinya hingga akhirnya ia pindah ke tempat tetirah untuk menenangkan dirinya, dan bahkan menghabisi dirinya dengan gantung diri.


Sementara itu, Toru yang memuja Naoko secara kebetulan bersahabat dengan Midori yang periang, penuh rasa ingin tahu, dan sungguh nakal penggoda. Midori betul-betul kebalikan dari Naoko. Dengan kematian Naoko, Toru akhirnya paham bahwa cinta pertamanya adalah cinta yang tak mungkin dijalankan. Dengan memilih untuk melanjutkan hidup dengan Midori, Toru meninggalkan kenaifannya dan mulai menjalani hidupnya secara dewasa.

Bagaimana tarik-menarik antara kematian dan kehidupan ini diceritakan dalam bungkus cerita cinta Toru dengan Naoko dan Midori itu karena menurutku karakter Naoko dan Midori menyimbolkan sesuatu yang lebih dalam maknanya.

Sosok Naoko yang misterius dan pemalu merupakan figur romantis yang cocok bagi cinta pertama Toru. Sementara Midori yang lebih nyata, menyimbolkan cinta yang real, terjamah, dan menjanjikan. Dengan kata lain, Naoko berada di sisi "kematian", sedang Midori berseberangan, di sisi "kehidupan". Dalam pemikiran rasional, biasanya ini dijadikan pilihan, tetapi secara cerdas Haruki Murakami justru menulis "kematian bukanlah akhir dari kehidupan, tetapi merupakan bagian darinya". Justru lewat tarik-menarik itulah, situasi psikologis Toru digambarkan begitu detil sedemikian rupa sehingga emosi pembaca akan ikut terombang-ambing di antara dua pilihan yang ada.

Setting yang dituliskan Murakami sekali lagi betul-betul cetakan realitas yang terjadi di Jepang tahun 70-an, dipilih dengan cermat, lewat bahasa penceritaan yang sederhana, tetapi mengalir sehingga aku sebagai pembaca mendapat gambaran yang jelas bagaimana situasinya. Yang luar biasa lagi dari cara penulisannya itu bagaimana ingatan dan mimpi dapat campur-baur membentuk realitas, sehingga jalan untuk membentuk kembali ingatan kita lewat proses mengingat kembali. Lihat bagaimana Toru yang berusia 37 tahun malahan lupa wajah Naoko, perempuan yang amat dicintainya itu. Nostalgianya justru menjadi wahana permainan yang menjebak pembaca di tengah-tengah sehingga sulit sekali menebak mana yang nyata dan mana yang bukan.

Marilah sekarang menyoal beberapa hal yang sempat disinggung oleh teman-teman: bab terakhir "Norwegian Wood". Bagian yang paling menarik bukan bagian vulgar itu, tetapi bagaimana Haruki Murakami mengakhiri ceritanya: apakah dengan happy ending atau sad ending.

Sementara pembaca mengira dengan kematian Naoko, otomatis dengan sendirinya Toru memilih Midori, tetapi dalam bab akhir sesungguhnya masih belum begitu jelas apakah demikian. Meskipun Toru menelpon Midori untuk menyatakan kesiapannya untuk menjalankan hidup bersama Midori, tetapi ketika di akhir cerita Toru justru seperti linglung, tidak tahu ada dimana, tidak bisa melihat orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya pantaslah diajukan prasangka: jangan-jangan Toru juga 'bunuh diri', 'meskipun bunuh diri secara metaforik', yang artinya ia tidak menjalani hidupnya dengan Midori. Bisa jadi ia tidak bisa memaafkan dirinya gara-gara berhubungan badan dengan Reiko dan justru merasa nyaman dan di awal cerita, toh Toru sudah berada di Jerman kan? Yang jelas, ending buku ini sebetulnya tidak jelas betul apakah happy ending atau sad ending. Semua dibiarkan menggantung.

Oke, di akhir review ini aku mau berkisah tentang lima tipe kegilaan dari M. R. Bawa Muhaiyaddeen (“Five Common Types of Insanity”):

"Pada sebuah persimpangan jalan di dekat taman, berdiri sebuah pohon yang teduh. Lima orang dengan lima jenis kegilaan duduk bersama di bawah pohon tersebut. Mereka berbicara dengan diri mereka sendiri. Bagi orang yang berlalu-lalang, lima orang ini terlihat sama, tetapi terdapat alasan yang berbeda atas kegilaan mereka.

Orang gila pertama yang sakit jiwanya mengambil semua serpihan kertas dan lembaran daun kering yang ada di tanah dan meletakkannya di sekitar tangannya sembari mengoceh, “Kau pergi ke sini, kau pergi ke sana.”

Orang gila kedua yang terobsesi oleh wanita mengambil semua serpihan kertas dan mengira bahwa kertas itu adalah surat cinta. Dia berkomat-kamit, “Kekasihku menulis ini, kekasihku menulis itu. Kekasihku berkata, ‘Aku akan datang kepadamu!’”

Orang gila ketiga yang terobsesi pada uang mengambil semua serpihan kertas, melihatnya, membolak-baliknya, dan mengomel kepada dirinya sendiri, “Bank ini, bank itu. Rekening ini, rekening itu. Simpananku.”

Orang gila keempat yang suka mabuk berjalan sempoyongan di jalan, menabrak orang lain dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Akhirnya, dia terjatuh tak sadarkan diri di jalan, dan maling merampok pakaiannya. Ketika dia sadar kembali dia begitu malu, sehingga dia kembali ke rumah, bertengkar dengan istrinya, dan menyalahkan keluarganya atas kesalahannya.

Tetapi orang gila kelima yang terobsesi oleh kebijaksanaan mengambil sebuah daun kering yang telah mati dan tersenyum dengan sedih. “Sungguh indah ketika engkau masih bersatu dengan batangmu. Pada awalnya engkau adalah sebuah daun indah yang berwarna hijau yang menyejukkan orang lain. Kemudian engkau berubah menjadi kuning, dan saat ini warnamu menjadi sama dengan tanah. Engkau adalah daun kering yang akan kembali ke tanah sebagai pupuk. Setiap orang dan segala sesuatu akan mendapatkan takdir yang sama. Setiap orang dan segala sesuatu menjadi makanan bagi tanah.”

“Sungguh inilah kehidupan! Oh Tuhan, aku mencari-Mu dan menjadi gila. Engkaulah satu-satunya dokter yang dapat menyembuhkan kegilaanku. Jika Engkau tidak datang, aku akan mati seperti daun ini. Engkaulah Tuhan yang menciptakan, melindungi, dan merawatku. Engkaulah Tuhan yang memahami dan mengerti akan diriku. Berikanlah aku obat rahmat, cinta dan kebijaksanaan-Mu dan penuhilah kebutuhan-kebutuhanku.”

Makanya pikir-pikir dulu mau jadi orang gila bagaimana di dunia ini.

Catatan pendek:
1. Terjemahan Jonjon Johana harus diacungi jempol, meskipun ada beberapa salah ketik di bagian-bagian akhir.
2. Tokoh-tokoh yang menarik macam Kopasgat, Reiko-san, Nagasawa-san sengaja tidak ditulis dalam review, tetapi sangat menarik untuk dibaca.

DETIL BUKU
Norwegian Wood
karya Haruki Murakami

Terbit 2006 (pertama terbit 1987) oleh Kepustakaan Populer Gramedia
Binding: Softcover
ISBN: (isbn13: 0978979910033)
Tebal: 554 halaman
Karakter: Toru Watanabe, Naoko, Midori Kobayashi
Penerjemah: Jonjon Johana
Rating: 5/5

2 balasan:

Review Buku mengatakan...

AKU KENAL MURAKAMI DARI REVIEW BANG AMANG YANG KEMARIN. DAN TERUS TERANG, KEPOPULERAN NORWEGIAN WOOD SERTA REVIEW INI MEMBUAT SAYA INGIN MEMBACANYA. TAPI DITERBITKAN TAHUN 2006 YA? ADUH, MASIH ADA GAK YA DI TOKO BUKU?
MAKASIH, REVIEW YANG MENGGUGAH SAYA UNTUK DAPAT MEMBACANYA.

Unknown mengatakan...

Semoga masih ada ya. Kalau sulit mendapatkannya di Pacitan, kamu kontak saya saja. Nanti saya coba carikan.

Posting Komentar

 
Konten blog Fans Berat Buku bersifat personal.
Template Blogger Theme dari BloggerThemes Desain oleh WPThemesCreator